Bab 14: Sekacau Itukah Aku?

79 8 2
                                    

Aku benar-benar melewatkan malam tanpa tidur! Beberapa menit yang lalu aku baru saja selesai menunaikan sholat subuh di ruang sholat di sebelah kamar pasien ini. Jarang-jarang subuh terasa dingin di Kota Padang, tapi kali ini berbeda akibat badai semalam. Kulihat Jonathan tertidur sambil berselimut tapi aku akan membangunkannya untuk segera pergi dari rumah dr. Wem. Aku tidak mau berada di sini lebih lama. Tidak tidur semalaman membuat tubuhku tidak fit, rasanya seperti agak melayang. Mataku juga terasa aneh seperti ada pasir-pasir kecil, agak perih dan terasa kesat saat berkedip.

Setelah beberapa kali kupanggil, Jonathan memaksakan diri membuka mata. Kalau aku jadi dia pasti kepalaku akan sakit karena cuma tidur kurang dari satu jam saja. Kami segera pergi dari rumah dr. Wem setelah dokter spesialis penyakit dalam tersebut memastikan Jonathan baik-baik saja, dia juga meresepkan multivitamin untuk pemulihan setelah dehidrasi. Udara di luar ruangan segar sekali, kuhirup oksigen subuh ini dalam-dalam untuk memasoknya sebanyak mungkin ke paru-paru agar otakku juga kebagian alirannya. Jonathan berjalan antara sadar tak sadar ke dalam mobil dan langsung tertidur di kursi yang masih dalam posisi rebah sejak semalam.

Aku melajukan mobil perlahan menembus subuh yang masih lengang. Mulutku mulai menguap saat akan melintasi jembatan yang terletak di atas sungai muara laut. Rasanya tidak sanggup lagi, seandainya kupaksakan mengemudi maka besar kemungkinan kami akan celaka. Aku berusaha berpikir logis dan segera belok kiri menuruni aspal di tepian sungai, ada lapangan rumput kecil di sela pohon-pohon yang berjejer di terangi deretan lampu jalan yang masih menyala dengan cahaya keemasan.

Kubuka sedikit kaca jendela agar udara segar bisa masuk sebelum mematikan mesin mobil. Aku sudah sangat mengantuk, kurebahkan kursi kemudi 135° dan mulai mencoba tidur. Sesaat sebelum terpejam kulihat Jonathan yang posisinya lebih rebah lagi dariku sudah tertidur pulas. Otakku sudah tidak bisa memikirkan apa-apa, aku merasa ini tidak benar, tapi aku sangat-sangat mengantuk. Rasanya seperti sistem yang akan di matikan.

🍂🍂🍂

Aku terbangun oleh beberapa hal sekaligus: suara murottal dari mushalla seberang sungai, bayang-bayang daun yang bergerak-gerak di kaca mobil, rasa lapar, udara panas, dan juga getar ponsel di saku jaketku. Dengan mata setengah terbuka kulihat Jonathan masih belum bangun, dan dengan kernyit di dahi aku meraba saku jaket dan mengambil ponsel yang masih bergetar, kesadaran belum sepenuhnya terisi ke dalam pikiranku, aku segera menjawab panggilan itu dengan mata yang belum sepenuhnya nyalang dan cuma berusaha melihat letak tanda terima yang berwarna hijau itu.

"Halo," jawabku dengan suara yang tak bisa dipaksa jadi jernih walaupun aku sudah sedikit berdeham sebelum mengangkatnya, jelas sekali suaraku adalah suara orang bangun tidur. Hening sejenak di seberang sana sebelum suara itu membuat kesadaranku melonjak ke titik paling tinggi.

"Halo, ini siapa?!" tanya suara di seberang sana.

"Hah, ini siapa ya?" tanyaku balik sambil keheranan. Aku segera melihat layar ponsel dan betapa terkejutnya aku saat nama Uncle Derian tertulis di sana. Mataku langsung mendelik dan segera ingin menutup panggilan. Ini ponsel Jonathan yang ada di saku jaketku sejak semalam! Ponselku sendiri ada di dekat drink holder. Sekian detik aku berada di antara pilihan matikan atau tidak. Tapi kalau aku matikan, di mana letak kedewasaanku? Baru saja aku akan menjelaskan siapa aku ke dr. Derian, tiba-tiba Jonathan terbangun.

"Siapa Qayya?" tanyanya dengan suara agak serak khas bangun tidur sambil bangkit perlahan dan berdeham, lalu sekilas melihat ke sekeliling dengan heran, aku yakin dia belum sadar bahwa yang kupegang itu adalah ponselnya dan juga kenapa kami bisa berada di tepian sungai.

"Uncle Derian," jawabku dengan gerak mulut tanpa suara sambil memperlihatkan layar ponsel, membuat mata Jonathan yang agak sipit itu menjadi lebih lebar dan segera menadahkan tangannya dengan cukup tenang agar aku memberikan ponsel.

M JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang