Bab 10: Terluka Sendiri

96 11 2
                                    

Cuaca cerah pagi ini, langit tampaknya tak peduli dengan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menyiapkan setingan yang sesuai dengan kekacauan hatiku. Sepagi ini cuaca sudah terik dengan latar langit biru, layaknya badai tadi malam sudah berlalu dan angin datang dengan hawa baru yang lebih segar bercampur hangat matahari.

Aku sedang berada di kolam renang kampus yang terletak di lingkungan Fakultas Ilmu Keolahragaan atau yang biasa disebut FIK. Aku ingin sedikit menyiksa diri agar logikaku kembali, tapi sebelum berbalik meluncur ke titik dimana aku memulai tadi, badanku sudah protes saja. Aku bergantungan di tepian kolam sambil tersengal. Kata-kata Jonathan semalam diputar otakku berkali-kali sejak subuh tadi.

Ingin rasanya bolos saja hari ini; bolos kuliah, bolos kerja seperti anak SMA yang cabut sekolah cuma karena ingin hura-hura dengan teman-temannya atau karena ingin menyendiri akibat patah hati. Sayangnya kehidupan orang dewasa tidak bisa seperti itu lagi.

Aku mungkin bisa bolos kuliah, tapi tetap harus masuk kerja. Bahkan kalau dipikir-pikir tidak ada celah untuk bolos kuliah hari ini. Satu jam lagi kelas academic writing dimana Dr. David akan menjelaskan prosedur penulisan artikel yang kuperlukan untuk jurnal internasional. Beliau juga akan memberikan daftar jurnal terindex scopus agar mahasiswa bisa mulai mengirimkan artikel yang telah mereka tulis sebelum semester ini berakhir.

Setelah kelas Dr. David aku juga harus masuk kelas Profesor Yeni, kelompokku tampil siang ini untuk menjelaskan materi tentang pertimbangan-pertimbangan dasar dalam merancang tes bahasa Inggris. Lalu sorenya mengajar di Coca-cola. Betapa mengerikannya hari ini untuk dijalani sepotong hati yang sedang lusuh. Rasanya ingin menghilang saja dari Bumi.

Sebenarnya aku sudah berada di sini bahkan sebelum pintu akses kolam renang dibuka, Aku duduk di bangku besi panjang di depan pintu utama sambil merenung dengan kedua siku bertumpu di atas tas duffel berwarna hitam. Mungkin sekarang aku seperti pelarian dengan muka kusam yang kabur dari rumah dengan menyandang karung besar. Anggap saja tas olahraga ini karungnya.

Kegilaan itu muncul begitu saja tadi subuh, aku ingin berenang dulu di fakultas tetangga sebelum ke fakultasku. Aku lupa bahwa kolam renang ini dibuka jam 8 pagi. Aku sudah berjalan kaki ke sini dari kosku sebelum pukul tujuh tadi. Padahal jalan kaki ke sini hanya butuh 15 menit.

Sebagai pelarian, mungkinkah aku sedang ingin diselamatkan? Apakah aku melebih-lebihkan apa yang terjadi dengan tambahan bumbu-bumbu dramatis? Tidak, aku hanya kesal dengan diri sendiri, dan ini adalah hukumannya. Ketika pagi datang, aku teringat air mata semalam. Kenapa aku menangis? Aku cukup bilang tidak pada apa yang tak kusuka, dan tinggal bilang iya pada apa yang kuinginkan. Entah longsor mana yang meruntuhkan pertahananku dan membuat semua jadi berlebihan seperti di film-film.

Aku malu kalau harus menampakkan batang hidungku lagi di depan Jonathan. Bukan karena aku malu telah mengakui perasaanku padanya, tapi aku malu pada jalan berbelit yang kulalui hanya untuk bilang iya, terlebih perkataan terakhirku padanya tentang kemungkinan ia merindukan sosok seorang ibu. Aku tak tahu bahwa ia sedekat itu dengan ibunya walau tinggal terpisah. Lagi-lagi, kupikir ini seperti di film-film, ternyata tidak. Aku merasa seperti ratu drama dan aku membenci diriku sendiri pagi ini.

Aku ingin sekali minta maaf, tapi mencari namanya saja di daftar kontak membuatku menciut, apalagi kalau harus menemuinya. Beginilah kalau jadi tokoh jahat di dalam cerita. Beban yang ditanggung orang yang bersalah akan lebih berat dari kesedihan yang dirasakan korban.

Sebenarnya, apapun di dunia ini bisa dibicarakan baik-baik. Seperti perdagangan, syarat jual beli dan tawar menawar berlangsung agar mencapai kesepakatan. Kalau cocok, bayar, kalau tidak tinggal minta maaf dan cari peluang lain. Tapi perasaan ternyata tidak sama dengan pasar. Hanya untuk sebuah kesepakatan, hujan badai, gelombang pasang dan sambaran petir harus muncul sebagai latar. Lalu ketika badai berlalu, tinggallah ingatan tentang kebodohan kita dalam menghadapi tekanan.

M JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang