. dua .

617 85 12
                                    


🍁

Aku, sebenarnya sedikit iri dengan dia yang bisa mendapatkan mu dengan mudah tanpa harus berjuang sekeras aku.

___________

___________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

• • •


Entah sudah berapa kali nafasnya terbuang begitu saja, decakan lidahnya pun kerap kali membuat pengang telinga, sungguh tak sedap untuk didengar dan terkesan sangat mengganggu, gusarnya kali ini benar-benar berhasil menarik perhatian Ollan untuk melirik sahabatnya itu, Ollan mendengus ketika sekali lagi mendengar decakan dari mulut Vito dengan kasar, "Cak-cek-cak-cek, ngapa dah lo, turunan cicak hah?" Vito kembali mendengus, menggosok pangkal hidungnya yang bangir, dengan malas memperlihatkan apa yang sedari tadi membuatnya merasa patah—lagi. Ollan secara bergantian menatap layar ponsel kemudian menatap raut wajah Vito yang masam. "Pacar baru?"

"Hn, kayaknya."

"Kok kaya enggak yakin begitu?" Vito menghembuskan nafasnya sekali lagi, membiarkan kepala belakangnya itu berbenturan dengan dinding dingin bengkel ini. "Dia enggak pernah cerita sih kalau lagi dideketin cowok—sekalipun kita kemarin bareng, ya enggak ada nyinggung soal beginian juga sih, tau-tau udah pasang lope lope di captionnya." Ungkapnya yang malah terdengar begitu menyedihkan ditelinga Ollan.

"Berarti bener dong."

"Apa?"

"Pacarnya." Ollan kembali melangkah menjauh, membereskan beberapa alat yang digunakan untuk sedikit menyelesaikan masalah pada Gaga—Accord Prestige milik Vito yang kembali berulah untuk kesekian kalinya, "Dari kemarin enggak keliatan lho kalau dia lagi deket sama cowok." Ucap Vito dengan perasaan yang belum mampu terima sepenuhnya, pasalnya apa yang dilihatnya sekarang sungguh berbanding balik dengan apa yang sudah dia habiskan bersama Chika kemarin, seharian.

"Yaelah Drun, kan, enggak ada yang pernah tau kalau sebenarnya dia udah punya, cuma enggak di publish aja." Vito mengangguk menyetujui teori itu. Ollan benar. Dulu—ah tidak—maksudnya beberapa kali Anin pernah mengatakan kepadanya bahwa ; tidak ada yang pernah tau soal perasaan seseorang kecuali orang itu sendiri yang beritikad untuk memberitahukan yang sebenernya, dia baik, memang—begitulah yang Vito ketahui, mau bagaimanapun caranya, dia baik. Bisa saja apa yang dilakukannya bukan menspesialkan, namun cara dia berinteraksi dengan seseorang memang seperti itu, yaitu dekat tanpa sekat. Vito kembali mengangguk membenarkan celotehan Febriollan sinambela—si boru batak yang cukup paham bagaimana dia sendirian yang jatuh cinta pada gadis bermata cokelat jernih itu.

Vito paham, bahkan bukan hanya sesekali ia merasakan perasaan yang perih seperti ini, marah tapi segan, pasalnya selalu dibayangi pertanyaan sialan ; kamu siapanya? Kepemilikan akan sang puan pun tak pernah Vito sanggupkan barang untuk sekali kesempatan. Vito menglock ponselnya, tak ada niat untuk sekedar memberi kabar kepada gadis itu bahwasanya Gaga—si putih kesayangannya itu sudah bisa dibawa pulang hari ini setelah rawat inap di bengkel Ollan, dan sudah bisa mengajaknya kembali berjalan-jalan mengelilingi kota Jakarta di malam hari seperti biasanya. Untuk kali ini Vito berfikir bahwa Chika sudah tak lagi membutuhkan ajakan sederhananya tersebut.

Y . O . U . R . S  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang