. tujuh belas .

501 65 45
                                    

🍁

Kembali ; hai apa kabar?

_______________


Terkadang begitu, datang untuk bertemu, pergi untuk mengumpulkan rindu.

Kakinya menapak turun dari Gaga—mobil Accord Prestige putih kesayangannya. Rasanya sudah terlampau lama dia tak bermesraan dengan mobil kesayangan ini setelah terlalu lama pula bercumbu dengan pekerjaannya, bahkan saat dirinya ke kantor pun bukan Gaga yang menjadi kendaraannya, sebab Anin—sang Kakak akan mengomel sepanjang masa, apalagi jika sudah berkaitan dengan mogok dan segala macam, buang-buang waktu katanya. Lalu apa yang harus Vito lakukan selain menuruti ucapan kakaknya? Hingga kali ini ia berkesempatan untuk kembali membuat cerita bersama Gaga—si mobil putih kesayangannya. Ia tersenyum simpul, dengan santai memasuki sebuah coffeshop sekedar untuk merilekskan pikirannya dari sibuknya dunia kerja yang seakan mempenjarakan seorang Vito.

Katanya ; jika kita punya waktu luang, maka gunakan lah sekedar untuk bermesraan dengan diri sendiri. Me time—konon. Barangkali Vito cukup jarang melakukan hal gabut seperti ini, alasannya tentu terlalu malas berpergian tak jelas, apalagi sendirian. Tapi Febian pernah bilang, bahwa Vito sebenernya sangat butuh momentum begini, selagi Chika sedang tak ada di Jakarta. Sendiri tanpa harus melibatkan keruwetan duniawi.

Dan ya, kali ini ia akan melakukannya.

"Ice salted caramel latte,"

Deg—ada yang seolah menekan perasaannya begitu besar kala telinganya disambar oleh suara yang tak asing baginya. Ia lantas menoleh, tubuhnya menegang kala apa yang dibenaknya betul adanya. Dia—gadis yang sudah hampir 8 tahun menghilang dari hadapannya, kini dia ada di sampingnya, ia tak sedang bermimpi atau mengkhayal, benar, bahwa ; sosoknya yang sempat menjadi lara berkepanjangan beberapa tahun belakang kini ada di sampingnya dalam jarak yang begitu dekat.  Sial, rasanya ingin sekali menghilang sekarang juga, atau harusnya ia sedikit menuruti keinginannya sendiri untuk berdiam lebih lama di apartemen selagi masa liburnya, mungkin pertemuan ini tidak akan terjadi.

Ah, sial, ia bersumpah akan mencaci Febian yang memberikan ide me time setelah ini.

Dia—Alvito Atalanta Fabumi, entah harus bersikap seperti apa kala sang mata bertemu, saling bertabrakan dan menyelam beberapa saat. Ia meneguk ludahnya susah payah. Ah, satu hal yang baru saja dirinya sadar, bahwa ; ternyata selama itu dirinya tak melihat sosoknya lagi, sudah terlampau lama dia tak mendengar suaranya lagi. Sungguh, ada sedikit yang berubah darinya, meskipun sial, senyuman—ya senyumannya yang menjadi favoritnya itu terasa tetap sama, sama seperti pertama kali dia mengaguminya. Sekarang ia ingin mempertanyakan, mengapa dia kembali? Entahlah, skenario yang bagaimana lagi yang Tuhan buat untuknya setelah petualangan mencintai seseorang tak pernah terjawab dengan baik hingga pada akhirnya bertemu dengan Chika sebagai lara dan obat yang kini menjadi bahagia terfavoritnya. "Hai Vit, samaan pesennya, masih jadi pencinta latte yah." Celetuk gadis itu dengan senyum yang merekah lebar, ia menegang, kembali ia mendengar suaranya lagi, ya lagi.

Entah harus mengatakan apa, menyesalinya atau ia sedikit mensyukurinya?

"Vit."

"Hah, apa?"

Dia terkekeh pelan, entahlah mungkin merasa bahwa Vito masih saja terlampau konyol dimatanya, ia menggelengkan kepala, kembali berbicara dengan barista. "Mau ngobrol bentar, lo—lagi enggak ada kerjaan kan?" Entah bagaimana semesta menginginkan kebersamaan, entah bagaimana pula memberikan ruang kesempatan hanya untuk sekedar mengeluarkan beberapa kalimat dalam jarak yang dekat tanpa sekat untuk sekali lagi, sebab tanpa banyak berfikir Vito mengangguk mengiyakan pertanyaan dari gadis dengan rambut sebahu itu. Kali ini gadis itu mengangguk.

Y . O . U . R . S  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang