. lima belas .

512 71 43
                                    

🍁

Kita selalu merangkai cerita yang harmonis, hingga melupakan bahwa ; kekesalan adalah bentuk emosional yang wajar.

________________

________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...




"Ya paling enggak lo bilang lah sama gue drun. Kenapa juga gue harus tau dari kak Abin? Susah banget yah ngabarin, 'Chik gue mau ke Bandung besok.' kan lo kemarin-kemarin juga sama gue Vit." Vito memejamkan matanya mendengar bagaimana suara Chika yang terdengar begitu kesal di seberang sana. Telinganya dicerca banyak pertanyaan juga kekesalan yang sudah meluap-luap. Mugkin, sedari tadi gadisnya menahannya karena tengah bersama Anin—kakak Vito. Vito menghela nafasnya, "Yaudah gue minta maaf yah, gue yang salah." Ucap nya dengan lembut. Selalu begitu—lagipula benar memang dia yang salah karena tak memberikan kabar kepergiannya ke Bandung pada Yessica.

"Ya lo emang salah."

"Iya gue salah sorry." Vito menghembuskan nafasnya, sungguh ia tidak ingin jika saja kali ini terpancing dengan kekesalan Chika lagi. Ia menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur hotel dimana menjadi penginapannya selama di Bandung. "Yaudah kan gue udah minta maaf, lagian—" Vito mendelik kala sambungan telfonnya diputuskan begitu saja dengan sepihak oleh Chika.

Katanya ; orang yang paling sulit dimengerti adalah wanita. Mungkin kali ini Vito akan setuju dengan statment tersebut. Sebab, untuk kali ini ia seakan tak sempat memahami bagaimana gadisnya. Ia bahkan tak sempat mendinginkan suasana diantara mereka. Vito mengacak rambutnya asal, kembali mencoba menghubungi Chika berharap masih mampu untuk saling berbicara dengan otak yang dingin.

Vito tau Chika marah, dan dia pun tau kalau dirinya pun salah disini.

"Ck, arggh!" Erang Vito frustasi kala beberapa panggilannya tak juga diterima sang puan lagi.

Ponsel nya yang sedari tadi di genggaman dilemparkannya dengan begitu kasar dan asal. Dia—Alvito Atalanta Fabumi, entah beberapa kali harus menghembuskan nafasnya kasar, juga decakan kesal yang ia tujukan dari pangkal lidahnya. Bahkan kini jemari-jemarinya sudah beradu di pangkal hidung guna menguapkan segala pening yang tiba-tiba saja menyapanya. Kembali Vito menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, pandangannya mengarah lurus pada langit-langit hotel, lagi—decakannya terdengar kasar, ia meraup wajahnya sebelum memutuskan untuk memejamkan matanya. Ya paling tidak dirinya butuh pula untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

Sebab, perdebatan seperti itu terjadi barangkali bukan sekali. Tapi entah mengapa untuk yang kali ini ia terlampau frustasi dibuatnya.

Barangkali dia—pemilik nama belakang Fabumi ini selalu ingin menjadi manusia yang paling mampu membuatnya bahagia. Pewajaran-pewahjaran kecil terhadap sebuah hubungan, sepeti ; bertengkar, kesal, adu pendapat, saling laras. Meresa gagal atas ingkar yang dirinya terbangkan, bahkan dari beberapa bulan belakangan. Jadi, maklum—jika saja Chika merasa kesal ketika tau bahwasanya Vito tak akan menepati itu. Vito tak menyalahkan Chika karena tak memberikan sedikit pengertiannya lagi, tak masalah. Ia memberikan jeda waktu agar emosionalnya benar-benar terluapkan hari ini juga. Meskipun, jika boleh saja jujur ia tak suka situasi dimana di antara dia dan Chika saling keras begini.

Y . O . U . R . S  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang