. empat belas .

498 74 19
                                    

🍁

Kita adalah perangkai yang menceritakan alurnya sendiri.

___________________

Chika menghela nafasnya dalam, ia menaruh ice coffe latte milik Vito yang baru saja datang tepat dihadapan Vito. Ia mengambil duduk di samping Vito, sudah hampir 2 jam ia berada di apartemen lelaki ini, tapi Vito asik bermesraan dengan setumpuk pekerjaannya, padahal ini weekend — terkadang Chika tak mengerti mengapa orang-orang disekitarnya selalu memberikan keanekaragaman pekerjaan menyapa di weekend, hari yang seharusnya digunakan untuk sekedar bersantai dan bermalas-malasan ria. Jujur, Chika tak sekali melihat Vito menghabiskan waktu untuk pekerjaannya di wekeend. "Kerja kerja kerja, biar makin kaya." Gumam Chika lirih, yang ia bersumpah bahwa Vito tak akan mendengarnya.

Tangan Chika bergerak atas-bawah dilayarnya, berharap ia terus menemukan sesuatu yang menarik guna mengubur rasa bosannya. Entah—berapa video yang Chika tonton, juga berapa aplikasi pula yang ia buka-tutup dalam jangka waktu yang cukup dekat. Gadis dengan nama belakang Yosadana ini sungguh sudah kehabisan akal bagaimana ia mengubur rasa bosannya tanpa mengganggu Vito.

Namun, lagi—Chika kembali menghembuskan nafasnya dalam ketika rasa bosan benar-benar mendekapnya dengan kuat. Ingin sekali Chika menggeplak kepala Vito sekedar ingin memberikan informasi bahwasanya ada dia di samping nya yang sudah hampir gila dengan kebosanan nya sendiri. "Alvito Atalanta Fabumi." Panggilannya dengan lembut.

"Ya, Yessica Tamara."

"Masih lama kah?"

"Kenapa hem?"

"Bosen."

"Bentar yah Chik, gue harus selesain ini cepet, bentar aja." Chika mengangguk lemah mencoba mengerti. Ia menyandarkan kepalanya pada kepala sofa, pandangannya menatap langit-langit apartemen Vito. Sungguhan—ia sudah kehabisan akal bagaimana lagi membuat rasa bosannya menguap begitu saja. Matanya pun enggan terpejam, padahal cuaca diluar cukup menenangkan hanya untuk mengantupkan matanya beberapa menit atau jam. Chika menatap layar ipad Vito juga wajah fokusnya yang selalu Chika suka, dia berdecak kesal ketika menyadari bahwa ; Vito benar-benar tidak mengalihkan pandangannya pada layar ipda. "Hah, akhir-akhir ini lo keliatan sibuk banget deh, ditanyain sama kak Abin." Ucapnya membuka obrolan diantara mereka yang sedari tadi diam yang lebih dominan.

"Apa katanya?"

"Ya, lo sibuk mulu dicariin Gio juga katanya udah lama enggak main bareng, trus telfon kakak lo juga sering diabaikan, lo jarang pulang ke rumah. sesibuk itu?"

"Drun."

"Hem?" Chika berdecak kesal melihat respon dari Vito yang terlihat menyebalkan untuknya. Vito menghentikan penjelajah jemarinya diatas keyboard, ia pada akhirnya mengalah, mengalihkan pandangannya dari layar laptop juga ipad nya pada Chika yang kini sudah cemberut menggemaskan. Ah—sungguh, Chika selalu punya cara membuat Vito tersenyum simpul. Tangannya terulur mengacak-acak rambut Chika dengan lembut, sesekali terkekeh kecil ketika tak mendapatkan reaksi Chika. Ia menggenggam tangan Chika juga ibu jarinya yang dengan lembut menyapa kulit Chika. "Chika."

"Ya."

Viti tersenyum kecil, ia mengubah posisinya menjadi menghadap Chika. Tangannya yang menganggur dia gunakan untuk merapihkan anak rambut Chika. Cantik—selalu begitu. "Makasih yah."

"Chik." Pada akhirnya Chika berdehem kecil menanggapi, matanya ia biarkan bertumpang-tindih dengan milik Vito yang hitam pekat. Lelaki ini selalu tersenyum tipis padanya, ya—tipis dibarengi dengan sikapnya yang lembut. Terdiam beberapa saat seolah saling menyalurkan perasaan yang begitu dalam, sedikit melupakan rasa bosan juga jarak yang dibuat karena pekerjaannya. Vito menghembuskan nafasnya dalam. "Chik, gue enggak tau sih kenapa juga harus bilang makasih ke lo, tapi gue tetep mau bilang makasih aja. Makasih karena lo ada diberbagai bab yang gue punya. Mungkin—kalau enggak ada lo gue enggak pernah tau gue ditungguin banyak orang tanpa sadar karena gue larut sama kerjaan yang baru gue jalani."

Y . O . U . R . S  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang