. dua puluh sembilan .

571 60 47
                                    


🍁

Bersenyawa ; pada akhirnya hanya akan ada kita sampai tua.

__________________







Dia tak pernah segugup ini sebelumnya ketika bertemh dengan Putra Yosadana — Ayah Chika yang begitu Vito hormati pula. Ya, semua orang pasti tau bagaimana hubungan Vito dengan Chika, bagaimana pula hubungan Vito dengan keluarga-keluarga Chika, termasuk orangtua Chika. Memang, barangkali terlihat sangat dekat tanpa sekat, akan tetapi entah mengapa teh yang di suguhkan oleh Aya untuk sekedar membuat ruang antara obrolan keduanya tak benar-benar membantunya untuk lebih rileks. Sebenarnya — sedari tadi keduanya sudah saling berbicara mengenai banyak hal, tentang bisnis, plan kedepan, rumah, bahkan rencana liburan bersama. Satu hak yang menjadukan alasan Vito menjemput Christyan di Singapore semalam. Sesekali juga bercanda membuat tawa, Vito tau bahwasanya Putra bukan lah typekal Ayah yang kaku terhadap pasangan anak-anaknya. Jika boleh Vito mengatakan dia menyukai pribadi seorang Putra Yosadana.

Helaan nafasnya benar-benar terdengar begitu keras, bercampur dengan gugup juga kekhawatiran yang dapat Putra rasakan. Entah mengapa tingkah Vito yang slengan tak benar-benar Putra dapatkan disini. Pria dewasa berusia 52 tahun itu sekali lagi tertawa kecil, tangannya menepuk bahu Vito berkali-kali, sentuhan itu berhasil membuat Vito mengangkat kepalanya menatap Putra lekat. "Ini kamu enggak lagi ngerangkai paragraf yang bakal dikeluarin ke saya cuma mau bilang sesuatu yang serius kan?"

"Eh — ck, emang keliatan banget om?"

Putra mengangguk mengiyakannya, beliau menyesap teh hangatnya, bahkan sesekali menyesap rokok nya pula. Untung saja pagi ini terlihat begitu cerah setelah beberapa hari kota Jakarta di guyur dengan hujan tanpa jeda. Putra menghela nafasnya dalam. "Saya ini pernah muda sama seperti kamu. Duduk sama orang tua pacar pasti bikin kita nervous, iya kan?" Putra kembali terkekeh kecil melihat Vito yang mengangguk dengan ragu-ragu. "Itu wajar, dulu saya pas mau minta izin ke opa nya Chika juga sama, gerogi, takut kena tendang karena lancang minga izin buat lamar anaknya dan nikahin." Ujar Putra, satu kalimat yang berhasil membuat Vito mengangkat kepalanya menatap Putra tak percaya, segampang itu kah dirinya ditebak dengan segala tingkah lakunya ini?

"Jangan-jangan om tau saya mau melakukan hal yang sama."

"Tau."

"Yah kok tau sih om,"

"Ketebak, lagipula buat apa kamu menyuruh saya duduk di sini setelah basa-basi bahas profit? Aneh. Lagipula saya juga pasti—"

"Tunggu om, sumpah ini mah. Sekalipun om tau maksud saya, tapi biarin lah om saya basa-basi biar bisa buat cerita ke anak cucu kalau saya perang segugup ini minta ijin ke om." Putra tertawa lepas kala mendengar penuturan Vito yang begitu lemah, tatapannya pun terlihat begitu frustasi karena apa yang direncanakan sudah ketebak dengan mudah. Putra mengangguk, beliau menjatuhkan punggungnya pada sofa yang empuk, kemudian ia memberikan isyarat kepada Vito untuk sekedar berbasa-basi sekalipun dia sudah mengerti maksudnya.

Hah — baiklah, mungkin ini adalah kesalahan Vito yang terlalu akrab dengan keluarga Chika, jadi tanpa sadar merekapun mampu mengenali gelagat-gelagat nya.

Y . O . U . R . S  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang