9

639 72 17
                                    




Sebuah pasir, karena tay merasa tekstur aneh yang belum pernah ia rasakan. Dia berdiri di dekat ombak, kakinya basah beberapa kali. Menatap gulir ombak kelabu gelap yang bergemuruh rendah. Menabrak dasar pasir dan menimbulkan busa-busa berputar sekeliling pasir berkilauan.

Dia menoleh.

New berdiri di sebelahnya, tengah menatap kedepan.

"New?" kata Tay pelan. Dia kira ia hanya berhalusinasi, maka ia akan diabaikan. Tapi betapa kagetnya ketika New menoleh padanya.

"Apa kabar Tay? Akhirnya kita bertemu lagi." Ujarnya.

"Bertemu lagi?" Tay menatap dalam mata New. ia... merasa semua terlalu nyata.

"Bukankah kita kerap bermain bersama di dekat rumahmu? Ah, rumah nenekmu. Bersama kitty. Ketika aku melihatmu di dalam mobil sebelum pulang ke Bangkok—"

Tay mendengar detak jantungnya sendiri.

"Ah, kamu lupa? Kalau begitu... Mari kembali ke masa itu." New berpaling menuju daratan. Kanan kirinya dipenuhi pohon kelapa. Tay melihat sekeliling. Tak ada petunjuk apapun dimana mereka.

Hanya ada bulan separo di atas mereka yang menyinari tempat, menimbulkan kilau samar di atas air pantai.

"Dimana kita? Dimana.. kamu?"

"Tidak dimana-mana." New melirik Tay.

"Apakah kamu kemari karena Tuan Singto?" gemuruh ombak melawan pasir tampak meningkat. Tay menatapnya sebentar karena takut.

"Aku mencarimu." Ujar Tay menaikkan suaranya di tengah raungan ombak.

"Aku... bersama ayahku dan... Tuan Singto.."

Tay mendapati Singto melambai pada New dengan seseorang pria di sampingnya, jika Tay tidak salah sangka, maka itu adalah Krist.

Lalu New berlari cepat, namun yang Tay lihat bukanlah New yang sedari tadi berbicara dengannya, melainkan New kecil yang tersenyum dengan ceria pada keduanya.

New kecil meneriakkan sesuatu, tapi ombak pantai menerjang Tay ambruk bagai istana pasir, dalam keadaan terkulai basah dimakan ombak, tay menyadarinya.

Jika ia... pernah mengenal New Thitipoom di hidupnya.

Tay terbangun dengan deru nafas yang cepat, tubuhnya berkeringat basah.

.

.

.

Tay duduk di kamar masa kecilnya di rumah sang nenek sangat lama, mencolek-colek pudding cokelat buatan khas rumahan. Namun sang pudding seolah enggan di sentuh Tay, menjauh tergelincir ke ujung piring. Tay mendesah panjang, mendongak ketika Off masuk dari ambang pintu.

"Sesuatu yang buruk pasti terjadi."

"Tidak, atau mungkin belum. Aku bermimpi tentang New. kamu tahu kan Off, jika aku tidak pernah bertemu New sama sekali."

Off mengangguk sekali.

"Aku salah Off, aku salah." Kata Tay gelisah.

"Apa maksudmu, Tay?"

Tay menjambak rambutnya pelan. "Aku mengenal New, jauh sebelum aku dewasa."

"Dari—darimana kamu sadar tentang hal itu?" Tanya Off antusias sembari menawarkan sebuah kue jahe. "Aku menemukan sebuah surat. Yang tertulis namaku. Ketika aku melihat foto masa kecilnya, aku merasa sedikit aneh. Karena aku mengenalnya Off."

"Bagaimana kamu bisa bertemu dengan New? kamu kan sekolah di Bangkok." Tay mengambil kue jahe berbentuk bulat kelapa dan mengunyahnya sekali telan. "Aku sering berlibur di rumah nenek saat liburan semester. Aku ingat pernah mengenal seseorang, tidak tahu pasti namanya. Tapi aku yakin, orang itu adalah New."

Tay bangkit dari duduknya dan mulai mondar-mandir.

"Dan yang aneh, lebih dari aneh, Off. Aku bermimpi tentang New. sangat nyata." Tay memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, jari kelingkingnya bersentuhan dengan sebuah benda plastic persegi. Foto New dari Pluem.

"Dalam mimpiku, New mengatakan bahwa ia bersama ayahnya dan tuan Singto. Aku— entah bagaimana bisa mendengar suaranya yang bahkan aku tidak tahu sama sekali seperti apa."

"Apakah menurutmu," Off berkata akhirnya, "ia sengaja memberi sebuah petunjuk?"

Tay berpaling. "Petunjuk apa?"

"Semacam keberadaannya. Bisa jadi ia ingin memberitahumu. Aneh memang, tapi bisa saja ia membuat suatu koneksi dalam mimpimu, lewat memori memorinya yang sedang kamu gali."

Dia menatao Tay dan seakan meraka memiliki pemikiran yang sama. Dan tiba-tiba Tay duduk di hadapan Off. "Apakah benar?"

"Ya." Ujar Off. "Kupikir, karena kamu memimpikannya setelah membongkar masa lalunya. Di kamarnya."

Tay memiringkan kepala, berpikir.

"Jika ia memang sedang berasama Krist dan Singto, maka artinya..." katanya perlahan.

Mata Tay bergerak acak.

"Ia juga sudah wafat."

Tay mengecap darah dan menyadari bahwa dia menggigit bibirnya terlalu kuat.

Kamu ingat saat kita masih tiga belas tahun? Marikembali ke masa itu.

Memories Bout YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang