15

788 81 4
                                    

Tay membuka pintu.

Nafasnya tercekat.

New Thitipoom berdiri di hadapannya.

"Tay Tawan?"

Nafas Tay tercekat. Dia tidak tahu harus berbuat apa, atau mengatakan apa. Ini adalah pertama kalinya ia melihat New dengan mata kepalanya sendiri. Ia sadar, tentu saja, ini bukan mimpi seperti tempo hari.

Suaranya tertahan di tengorokan, padahal ada satu pertanyaan yang sangat ingin Tay tanyakan, Kenapa kau menghilang?

New menyerahkan sebuah kertas persegi. Kartu nama Tay.

Setelah menerimanya, Tay dengan insting alami mengajak New masuk ke dalam rumahnya. New berdiri di tengah ruangan. "Apakah kamu tidak penasaran?"

"apanya?"

"Kartu nama itu. Apakah kamu tidak bertanya-tanya bagaimana aku mendapatkan kartu nama itu?"

Jujur saya, Tay bertanya-tanya pada semua hal. Menuntut sebuah penjelasan yang masuk pada logikanya. Namun, ia takut. Jika hal itu akan membuat New pergi lagi.

"Kamu bisa menjelaskannya saat kamu ingin." Kata Tay, dia perlu beberapa saat untuk menenangkan diri, telinganya belum terbiasa mendengar suara New sejelas ini.

Tay sudah kembali ke dapur, ia hendak menyiapkan secangkir teh untuk New.

"Tay."

"Ya?"

"Jangan beritahu pada Pluem jika aku ada di sini. Aku... belum ingin menemuinya."

Tay mengangguk. Ia berhenti sesaat, lalu menutup pintu dan mematikan lampu dapur sebelum pergi.

Namun sesaat Tay sibuk pada dirinya, ia menyadari jika ruang depan sangat sunyi. Membuatnya berlari terseok, hanya untuk mendapati ruangan yang kosong.

Apakah... ia hanya berhalusinasi?

Tapi cangkir tehnya masih ada, sudah habis setengah.

Tay membuka pintu menuju tempat parkir. Siang itu cerah dan panas, namun menyejukkan saat maniknya menangkap New sedang berdiri dekat mobilnya.

Tay perlu memilih kata-kata dengan hati-hati atau dia punya firasat momen ini akan hancur bagai kaca, lebih buruknya, New akan menghilang.

"Kamu mau pergi ke pantai?" Tanya Tay cukup pelan.

New tersenyum padanya.

Tersenyum.

"Tentu."

...

Mereka tiba di Chiangmai.

Tay membuka pintu, New pun melakukan hal yang sama. New tersenyum dan menutup pintu penumpang, sedetik kemudian terdengar gema hantaman Tay menutup pintu pengemudi.

Mereka beranjak dari tempat parkir, melewati pinggir pembatas pantai. Dindingnya yang melengkung berkilau putih di bawah sinar matahari. Tapi degan cepat membias di kejauhan saat mereka berjalan makin jauh.

Tay duduk di ujung batuan kasar, mendengarkan debur ombak dan menatap New. dia berdiri membelakangi Tay, menatap ombak.

"Fluke. Aku mendapatkan kartu namamu darinya." Ujar New.

"Fluke?" Tanya Tay.

Hening panjang..

"Aku tidak tahu sampai mana kamu menggali hidupku. Tapi aku pergi untuk menenangkan diri karena suatu hal. Lalu aku bertemu dengan Fluke, penulis novel Rindu. Ia menyukai gambarku dan mengajak bekerja sama. Dua tahun, aku memintanya untuk tidak memberitahu siapapun tentang ku. Aku meneruskan hidupku dengan nama lain. Hin."

Hening panjang sebelum New berbicara lagi, masih belum menoleh pada Tay.

"Aku tidak ingin Pluem membenciku." Suaranya— yang tadinya kalem berubh menjadi naik dengan amarah. "Ia tidak menyukai Singto. Karena menurutnya Singto sudah menyakiti hati ayahku, dan juga menyia-nyiakan aku. Jika ia tahu bahwa aku menerima sesuatu dari Singto, ia akan sangat membenciku."

New berhenti, akhirnya ia berbalik menatap Tay.

"Ku dengar, Singto sudah meninggal. Ku tebak, kamu adalah orang dari firma hukum yang mencariku?"

Tay diam.

"Ya, aku mencarimu tapi bukan hanya karena surat wasiat Singto."

"Lalu?"

"Karena aku memang ingin menemukanmu, New."

New tersenyum tipis.

"Ayahku meninggal saat ku pikir akhirnya kami akan mempunyai keluarga utuh. Tidak apa dengan dua ayah, toh, saat ini hal itu sudah biasa. Saat aku kehilangannya, satu-satunya keluarga yang ku punya memintaku yang tak bisa ku berikan. Aku tidak mempunyai apapun yang tersisa, bahkan untuk diriku sendiri."

Tay membuang muka, memiringkan kepala untuk mendengarkan debur ombak yang berputar di atas pasir.

Dia sangat tahu perasaan itu. Empati mengalir dalam darahnya, setiap orang menuntut sesuatu, berharap sesuatu, segalanya. Namun tak pernah sesuai realita.

Hal yang paling buruk, mereka menginginkan New untuk menjadi normal, ceria meski dalam sandiwara.

Seolah-olah mereka menuntut untuk mengatakan aku baik-baik saja.

"Kamu ingat ketika kita masih tiga belas tahun?"

New menimang, "Aku tidak punya rencana apapun." Ujarnya.

"Mari kembali ke masa itu."

New terdiam.

Mereka diam di tempat untuk waktu yang lama, hingga senja menghampiri, menimbulkan semburat oranye di langit.

...

Mereka pergi ke kafe untuk makan. Tay menganggap hari itu sangat special.

"Kamu tahu kan biasanya spesial identik dengan sesuatu yang aneh?"

"Kamu tahu." Balas Tay,"bahwa kamu secara sistematis menghancurkan inti dari sebuah kata 'spesial' kan?"

"Tay..." dilihat dari nada bicara New, dan cara ia menatapnya, Tay tahu ada sesuatu yang serius ketimbang 'spesial'.

"Kamu boleh memberitahu Pluem jika aku sudah pulang."

Pulang.

Artinya... Tay adalah rumah bagi New? karena New pulang padanya.

"Lantas kenapa kamu memutuskan untuk menghubungi ku? Dan mengakhiri pesembunyianmu?"

New tersenyum gamblang.

"Karena aku juga mencarimu, teman pertamaku."

Memories Bout YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang