---------
Suara dering ponsel itu terus berbunyi sedari tadi, tapi diabaikan oleh si pemilik. Membuat orang yang ada di sekitarnya menjadi sedikit kesal, kalau saja bukan ponsel bosnya yang berbunyi, gadis itu bersumpah akan membanting ponsel tersebut.
"Mbak, plis! Itu ada telefon masuk, diangkat dong! Atau minimal ganti mode silent biar nggak ganggu," rengek gadis itu frustrasi.
Pramesti Ayunindya, atau lebih sering dipanggil Ayu. Si pemilik ponsel itu terkekeh samar lalu meraih ponselnya, setelah mengucapkan kata 'sorry' kepada gadis itu.
"Ya, halo, Bu. Assalamualaikum!" sapa Ayu, begitu sambungan terhubung.
"Wa'allaikumussalam. Kamu masih di mana, Nduk?" Suara lembut sang Ibunda tercinta menyapa gendang telinga Ayu.
Ayu membenarkan posisi duduknya. "Sekarang masih di kantor, tapi lima belas menit lagi ketemu klien, Bu."
"Kamu ini lho, masih aja ngurusin nikahan orang."
Ayu tertawa kecil. "Ibu ini gimana sih, kalau Ayu nggak ngurusin nikahan orang, Ayu nggak bisa makan lho, Bu. Nggak bisa bayar sewa gedung, nggak bisa bayar cicilan mobil, nggak bisa bayar ini-itu juga. Belum utang Ayu di bank."
"Masih kurang banyak?"
Nada suara Fatimah, Ibu Ayu terdengar sedikit khawatir dengan putri bungsunya. Untuk membuka Wedding Organizer miliknya sendiri ini, Ayu memang bermodal nekat. Dulu, saat ia masih berstatus sebagai staff di salah satu perusahaan Wedding organizer yang cukup besar, ia mengajukan pinjaman ke bank demi mampu membuka usahanya sendiri. Beruntung, usahanya kini berjalan lancar, jadi ia tidak ada masalah saat mengembalikan uang pinjaman banknya.
"Tinggal dikit lagi, Bu. Bentar lagi beres."
"Mau Ibu bantu?"
"Enggak usah, Bu. Insha Allah, Ayu masih mampu."
"Ya sudah, Ibu nggak akan maksa, tapi kalau kamu butuh uang, jangan sungkan minta Ibu, ya. Nggak usah ngajuin pinjaman ke bank lagi lho, janji sama Ibu yang kemarin pertama dan terakhir. Ngerti?"
"Insha Allah, nggak diulangi, Bu."
"Ya sudah. Ini kamu mau pulang kapan? Udah pesen tiketnya belum? Nanti kira-kira sampai sini jam berapa? Mau dijemput siapa?"
"Ayu nggak bisa jan--"
"Ibu nggak mau tahu, Yu. Pokoknya kamu harus pulang!" tegas Fatimah tidak ingin dibantah, "kemarin waktu lamarannya Dita, kamu bilang mau datangnya pas nikahan. Nah, besok itu udah acara ijab qobul dan resepsinya."
Ayu memijit pelipisnya karena bingung. Besok adalah resepsi pernikahan kliennya, jadi sulit baginya untuk tidak berada di sana. Tapi kalau ia tidak pulang, Ibunya pasti merasa sangat sedih.
Astaga, apa yang harus ia lakukan?
"Kenapa diam saja? Mau bilang nggak bisa?" todong Fatimah dengan nada sedikit kesal.
Ayu paham, ia juga merasa bersalah terhadap ibunya. "E..enggak kok, Bu. Pasti diusahain moga-moga--"
"Naik pesawat saja, nanti uangnya Ibu ganti kalau kamu sudah sampai di rumah," potong Fatimah terdengar sedikit kesal. "Langsung Ibu tutup. Assalamualaikum!"
"Wa'allaikumussalam."
Ayu meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali memijit pelipis. Ia merasa pusing mendadak. Apa yang harus dilakukan olehnya sekarang?
"Kenapa, Mbak?" tanya Galih penasaran. Asisten pribadi Ayu.
"Ibu saya barusan nelfon."
"Terus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaphobia
ChickLitKegagalan pernikahan kedua orangtua dan Kakaknya membuat Pramesti Ayunindya takut melangkahkan hubungannya dengan sang kekasih ke jenjang yang lebih serius. Trauma jelas masih ia rasakan. Namun, pertemuannya dengan Randu Kalandra merubah segala. Aka...