****
"Jadi lo sama Randu beneran putus? The End? Udahan? Bubaran?"
Ayu menghela napas sambil mengangguk dan mengiyakan, entah berapa kali ia sudah menjawab pertanyaan itu. Tapi di hadapannya, ekspresi seolah tidak percaya masih terlihat jelas pada wajah Febi. Ayu sampai bingung sendiri bagaimana ia harus menjelaskan agar sahabatnya ini percaya.
"Kenapa?"
"Ya, emang mungkin belum jodohnya."
Febi menghela napas sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulutnya, dilirik Ayu yang kini duduk tepat di sebelahnya dengan ekspresi tidak percaya.
"Emang lo udah nggak sayang sama Randu? Kalian udah hampir lamaran, Yu, lo nggak sayang? Sesulit itu maafin dia, huh?"
Ayu memilih diam dan tidak menjawab. Menurutnya, Febi tidak harus tahu semuanya, termasuk perasaannya terhadap Randu.
"Lo mau sampai kapan kayak begini? Lo nggak pengen nikah dan punya anak kayak temen-temen lo yang lain? Lo nggak--"
"Feb, niat kami ke sini buat apa sih? Kalau cuma mau ngehakimi aku mending kamu pulang. Aku capek."
Febi seketika langsung diam. Mulutnya seketika langsung terkunci rapat, perasaan bersalah tiba-tiba hadir dalam dirinya. Bukan maksud dia ingin menghakimi keputusan Ayu. Sama sekali bukan, niatnya baik, ia hanya ingin Ayu lebih jujur dengan perasaannya. Ia tidak mengharapkan Ayu dan Randu balikan atau semacamnya, yang ia mau, Ayu jujur. Itu saja.
"Sorry, Yu bukan gitu maksud gue. Gue cuma mau lo jujur sama perasaan lo. Gue nggak mau lo nantinya bakal nyesel. Itu aja."
"Enggak usah nunggu nanti, sekarang aku juga udah nyesel, Feb," aku Ayu tiba-tiba.
Hal ini mengundang kerutan di dahi Febi. "Maksud lo? Lo nyesel putusin dia?"
"Iya. Karena sejak awal enggak seharusnya aku pacaran sama dia."
"Ayu," desis Febi tidak percaya, "kok lo ngomong gitu sih? Setelah apa yang udah lo lewati sama Randu, dan lo bilang lo nyesel pernah pacaran sama dia? Apa sehina itu Randu di mata lo?" Febi mendengus tidak percaya setelahnya, "Yu, Randu nggak selingkuh. Lo harus ingat itu baik-baik! Dia cuma nolongin mantannya. Ya oke, gue akui itu salah. Randu sendiri juga ngaku salah. Dia manusia, Yu, setiap orang pasti pernah salah, termasuk lo atau gue. Dan lo tahu tugas kita apa sebagai sesama manusia yang berbuat salah? Memaafkan. Gue nggak nyangka hati lo sesempit ini untuk memaafkan kesalahan orang. Gue kecewa, Yu."
Dengan wajah sedikit menahan emosi, Febi segera berdiri. "Oke, lakukan apapun yang lo suka dan bikin lo bahagia. Tapi jangan pernah lo tunjukin wajah sedih lo saat nemui gue suatu saat nanti hanya karena lo belum bisa move on dari dia. Ngerti lo? Gue pamit." Ia kemudian teringat sesuatu saat hendak melangkah pergi, "ah, satu hal yang harus lo tahu, kalau Randu beneran sayang dan cinta sama lo. Dia memilih nggak berjuang bukan karena dia nggak serius sama lo, tapi karena dia menghargai keputusan lo. Lo sendiri yang memilih untuk tidak diperjuangkan. Sekarang keputusan ada di lo, kalau lo mau diperjuangkan kasih tahu gue, semisal lo gengsi ngomong ke Randu langsung. Gue pulang dulu. Sorry kalau ucapan gue keterlaluan. Jaga diri lo baik-baik, kalau butuh bantuan jangan sungkan nelfon."
Tangis Ayu seketika pecah saat Febi benar-benar meninggalkan apartemennya. Berulang kali ia memukul dadanya, berharap rasa sesak itu segera hilang. Namun, dadanya sampai sakit ia pukul sesak itu seolah tidak mau pergi. Ayu menangis dan meraung guna melampiaskan rasa tidak nyaman itu. Sampai akhirnya ia merasa lelah sendiri dan memutuskan untuk berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaphobia
ChickLitKegagalan pernikahan kedua orangtua dan Kakaknya membuat Pramesti Ayunindya takut melangkahkan hubungannya dengan sang kekasih ke jenjang yang lebih serius. Trauma jelas masih ia rasakan. Namun, pertemuannya dengan Randu Kalandra merubah segala. Aka...