15. Usaha Terosss

1.5K 196 7
                                    

#####

Tidur Ayu terusik karena nyeri itu kembali menyerang dengan hebat. Rintihan pelan akhirnya lolos dari bibirnya yang pucat, hal ini membuat Fatimah ikut terbangun.

"Loh, kenapa, Nduk? Ada yang sakit?" tanya Fatimah penuh rasa khawatir, raut wajah lelah tergambar jelas pada wajahnya. Hal ini membuat Ayu tak tega melihatnya.

Mencoba memaksakan senyumnya, Ayu menggeleng. Ayu dan sikap sok kuatnya, jangan heran kalian. Begitulah Ayu.

"Enggak, Bu. Ibu kapan nyampenya? Kok Ayu nggak dibangunin? Ibu ke sini sama siapa? Terus naik apa?" berondong Ayu mencoba mengalihkan rasa nyeri itu.

"Satu-satu to, Nduk, tanyanya. Ibu sampai tadi jam setengah sepuluhan, dianter sama Mas-mu, naik mobil. Sama Mbak-mu, sama ponakanmu juga," ujar Fatimah menjelaskan.

"Terus sekarang mereka di mana, Bu?"

"Ke apartemen kamu mungkin, Mbak-mu punya akses ke apartemen kamu ndak to, Nduk?"

Ayu mengangguk sebagai tanda jawaban. Setiap Ajeng ke Jakarta, Kakaknya itu selalu mampir ke apartemennya, jadi resepsionis gedung sudah mengenal dan paham kalau Ajeng itu Kakaknya.

"Gimana keadaan kamu? Kenapa sampai seperti ini kok ndak bilang sama Ibu atau Mbak-mu to, Nduk?"

"Maafin Ayu, Bu," sesal Ayu sambil menahan tangis, "Ayu nggak tahu kalau bisa sampai begini, Ayu pikir cuma masuk angin biasa."

Sungguh, melihat wajah sang ibu yang sedang mengkhawatirkan dirinya merupakan hal yang menyesakkan bagi Ayu.

"Kamu to, Nduk, kalau ngerasa sakit itu mbokyo jangan disepelein."

Ayu mengangguk paham. "Iya, Bu, maafin Ayu."

"Ya sudah, kamu mau makan atau minum ndak? Mumpung belum jam 12. Kata Nak Randu, kamu harus puasa mulai jam 12 malam buat operasi besok."

Randu? Benar, hampir seharian tadi ia dijagain pria itu. Lalu ke mana perginya pria itu sekarang? Apakah dia sudah kembali pulang dan tertidur dengan nyaman di rumahnya?

"Nduk? Kok malah ngalamun to?"

Lamuanan Ayu buyar. "Eh? Iya, Bu, Ayu mau minum." Sambil sedikit memaksakan senyumnya.

"Mau air putih atau teh, Nduk?" Tangan Fatimah terulur, menyentuh gelas teh yang ada di atas meja, "tapi tehnya sudah dingin, Nduk."

"Putih saja, Bu."

Dengan gerakan sigap, Fatimah kemudian membuka botol air mineral, memasukkan sedotan dan menyodorkan ke mulut Ayu.

"Sudah, Bu. Makasih."

"Mau makan?"

Ayu mengangguk. "Dikit saja, Bu."

"Roti ini mau?"

Ayu mengangguk. Tidak banyak roti yang masuk ke dalam lambungnya, tepat pada gigitan ketiga, Ayu sudah minta menyudahinya.

"Ohya, Bu, tadi Randu pulang jam berapa?"

"Sekitar jam sepuluh kayaknya." Setelah menutup botol air mineral dan menyimpan sisa roti yang Ayu makan, Fatimah kembali melanjutkan ucapannya, "dia anak yang baik, Nduk. Sopan juga, ibu suka."

Ayu menatap sang ibu dengan kerutan di dahi, heran. Ini maksud ibunya apa berbicara begitu?

Fatimah tersenyum tipis. "Ibu cuma berpendapat. Mbak-mu sudah ngasih tahu tentang hubungan kamu sama Rhevan."

GamaphobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang