#####Randu mengeluh sambil menutup wajahnya menggunakan bantal, berharap ia tidak mampu mendengar suara deringan ponsel itu. Tapi sepertinya percuma, karena ia masih mampu mendengar dengan jelas suara dering ponsel itu. Ingin rasanya ia membanting ponsel tersebut karena berisik sejak tadi.
"Halo," sembur Randu galak.
Akhirnya, karena tak tahan dengan suara deringan yang terdengar kian menggila itu, Randu dengan berat hati akhirnya menjawab panggilan tersebut tanpa mengintip siapa yang menelfon.
"Mas Randu di mana?" seru suara nyaring dari seberang, tak kalah galak.
Kesadaran Randu seketika langsung terkumpul. Ia kemudian bangkit dan turun dari kasur dan melirik jam wekernya. Shit! Jam sepuluh lebih, pantesan Hana terdengar mengamuk.
"Maaf, Han, Mas lupa. Mas siap--"
"Nggak pake lama, buruan cepet! Nggak usah mandi! Langsung ke stasiun." Klik.
Mampus. Guman Randu mulai kelimpungan. Ia langsung berlari ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, lalu menyambar kunci mobil dan segara turun menuju garasi dengan langkah terburu-buru. Hana ini tipekal perempuan idaman para lelaki, yang penyabar, penyayang, berhati lembut, cantik berjilbab, pintar dan juga pintar memasak. Ia jarang sekali marah, marah yang dalam artian benar-benar marah. Dan sekalinya marah tuh serem, bahkan Randu sendiri ogah untuk sekedar membayangkannya. Apalagi nada bicara Hana tadi terdengar benar-benar kesal. Astaga, Randu meruntuki keteledorannya kali ini.
Randu semakin ingin mengumpat kasar karena jalanan menuju stasiun macet. Hingga dapat dipastikan kalau Hana benar-benar akan mengamuknya. Dan benar saja, saat ia sudah berhadapan dengan Hana, tatapan matanya terlihat tajam seolah siap menguburnya hidup-hidup.
"Mas Randu itu kalau emang nggak bisa jemput, bilang dong. Kan seenggaknya aku bisa langsung pulang naik taksi, nggak lumutan nungguin begini," omel Hana dengan wajah juteknya.
Randu meringis sambil memasang wajah bersalahnya. "Maaf, Mas lupa, semalem banyak pasien yang melahirkan jadi pagi ini Mas tidur sampai siang."
"Kan Hana udah bilang dari awal, Mas nggak usah dijemput. Tapi Mas Randunya yang ngeyel mau jemput, tapi hasilnya apa?"
"Ya, Mas jadi jemput kan?"
Hana memutar kedua bola matanya malas. "Tapi telat pake banget ya sama aja bo'ong," ketusnya judes. Ia kemudian berjalan mendahului Randu.
Randu terkekeh sambil geleng-geleng kepala dan menahan lengan Hana. "Lewat sini, Han. Mas parkir di sana," kekehnya sambil menunjuk ke arah parkir yang ia maksud, "Mas berasa kayak lagi ngadepin pacarnya yang lagi ngambek tauk. Muka kamu ditekuk terus begitu," celetuknya kemudian, karena sedari tadi Hana masih dalam mode merajuknya.
"Dih, dasar jones," cibir Hana pedas, "adik sendiri diaku-aku pacar."
Randu tertawa sambil mengumpat pelan dalam hati. Duh, kemana sisi lembut sang adik yang sering kali ia banggakan kepada rekan atau junior sejawatnya. Mendadak Randu merindukan sisi lembut Hana.
"Cari sarapan dulu, yuk!" ajak Randu saat keduanya sudah masuk ke dalam mobilnya.
Hana menoleh ke arah Randu dan melirik jam tangannya. Saat ini waktu menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit dan bisa-bisanya Randu menyebutnya sebagai sarapan, kalau nyatanya sebentar lagi sudah memasuki jam makan siang.
"Brunch deh," ralat Randu setelah menyalakan mobil dan mengemudikannya membelah jalanan ibukota.
Hana berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Jangan kebiasaan skip sarapan deh, Mas. Mas itu dokter lho kalau lupa. Nggak malu apa sama profesi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaphobia
ChickLitKegagalan pernikahan kedua orangtua dan Kakaknya membuat Pramesti Ayunindya takut melangkahkan hubungannya dengan sang kekasih ke jenjang yang lebih serius. Trauma jelas masih ia rasakan. Namun, pertemuannya dengan Randu Kalandra merubah segala. Aka...