#######Ayu memasuki ruangan dengan kedua kaki bergetar. Seisi ruangan penuh dengan tangis dan jeritan pilu. Herlina terlihat bersimpuh tak jauh dari brankar, menangis histeris di dalam pelukan putri bungsunya yang terlihat menangis juga. Gadis itu masih duduk di bangku SMA tapi dia terlihat begitu tabah mencoba menguatkan Ibunya.
Di sisinya Ajeng berjalan lebih dahulu didampingi Akmal, suaminya. Berbeda dengan Ayu yang saat ini memasang wajah tak berekspresi, wajah Ajeng terlihat begitu sembab menahan tangis, karena sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Kakaknya itu terus-terusan menangis.
Akmal bergerak maju untuk membuka kain yang menutupi jenazah Papa mereka. Tangis Ajeng seketika langsung pecah kala melihat tubuh Agung sudah terbujur kaku dengan kedua mata terpejam damai, bahkan tubuhnya langsung ambruk ke lantai. Akmal buru-buru menutup kain itu dan menghampiri sang istri lalu memeluknya erat. Kedua matanya pun ikut memerah, terlihat jelas kalau ia sedang menahan tangisnya agar tidak pecah. Karena ia sadar betul harus menguatkan sang istri.
Ayu menyaksikan itu semua. Semua orang dalam ruangan larut dalam kesedihan mereka. Sedangkan Ayu hanya mematung seperti orang asing yang tengah kebingungan. Bayangan kebersamaannya bersama sang Papa tadi siang masih berputar jelas di dalam ingatannya. Ia sadar betul, jodoh dan maut rahasia Tuhan. Tapi ia tidak menyangka kalau semua akan terjadi secepat ini. Ada perasaan tidak percaya yang tengah ia rasakan.
Perlahan tapi pasti, ia kemudian berjalan mendekat ke arah brankar. Membuka kain penutup dengan tangan bergetar. Secara reflek ia memejamkan kedua matanya kala penutup itu terbuka. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa ia tak juga menitikkan air mata saat melihat tubuh sang Papa sudah terbujur kaku dengan kedua mata terpejam.
Perlahan ia kembali menutupi jenazah Papa-nya dengan kain tadi, lalu berjalan keluar ruangan.Saat ia keluar, Randu langsung menyambutnya dan menuntunnya untuk duduk.
"Aku nggak nyangka kalau Papa akan pergi secepet ini. Padahal tadi kita ke sini kondisinya termasuk membaik."
Randu menghela napas. "Maut, jodoh, rejeki, itu rahasia illahi. Datangnya tidak pernah bisa kita prediksi, Yu."
Ayu mengangguk dengan pandangan kosong. "Aku durhaka banget ya jadi anak?"
Randu sontak menoleh ke arah Ayu dengan kedua alis terangkat. "Maksudnya?"
"Kamu bisa denger sendiri kan dari sini, tangisan pilu orang-orang di dalam nangisin Papa. Semua yang ada di dalem nangis, Ran, Mas Akmal yang cuma ketemu sama Papa beberapa kali aja dia ikutan nangis, meski ditahan-tahan. Tapi aku? Aku anaknya, Randu. Aku anak kandungnya, yang bahkan punya banyak kenangan indah maupun buruk sama beliau. Tapi kenapa aku nggak juga nangis? Bukannya ini nggak wajar? Aku durhaka banget kan? Aku jahat banget kan jadi anak?"
Randu menggeleng tak setuju. "Hei, kamu nggak boleh ngomong gitu. Enggak ada yang bilang kalau nggak nangis waktu Papa-nya meninggal berarti dia durhaka, Yu." Direngkuh tubuh rapuh sang kekasih, berharap pelukannya kali ini sedikit menenangkan.
Ayu diam. Kedua matanya terpejam, mencoba menikmati pelukan hangat yang Randu berikan. Sesaat ia ingin melupakan perasaan sesak ini. Demi Tuhan, ini rasanya sangat menyesakkan. Ayu ingin menangis agar lega, tapi anehnya air matanya tak kunjung turun.
"Demi Allah aku beneran sedih liat Papa udah nggak ada, Randu," bisiknya lirih.
"Iya, aku tahu." Randu mengangguk paham.
--------
Randu menghela napas saat melihat wajah pucat Ayu--yang terlihat menguatkan diri--saat menerima tamu yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa terhadap keluarganya. Ada perasaan khawatir yang tidak bisa ia tutupi. Semalaman Ayu terjaga, belum tidur barang sebentar. Bahkan ia melewatkan sarapan paginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaphobia
ChickLitKegagalan pernikahan kedua orangtua dan Kakaknya membuat Pramesti Ayunindya takut melangkahkan hubungannya dengan sang kekasih ke jenjang yang lebih serius. Trauma jelas masih ia rasakan. Namun, pertemuannya dengan Randu Kalandra merubah segala. Aka...