49. Rencana Febi

1.7K 160 5
                                    

####

"Gimana keadaan dia?"

Febi dan Gilang langsung bertukar pandang. Sebelum akhirnya menatap ke arah layar laptop, yang sedang terpampang wajah Randu di sana. Mereka sedang melakukan panggilan video, Randu termasuk lumayan rajin menelfon pasangan suami istri itu hanya demi menanyakan kabar Ayu. Beberapa bulan telah berlalu semenjak perpisahan mereka, rasanya berat bagi Randu untuk tidak menanyakan kabar sang mantan kekasih.

Kalau ditanya apa Randu gagal move on? Sepertinya benar. Di Singapure ia bertemu dengan banyak perempuan yang tidak kalah cantik dari Ayu, tapi kedua mata Randu seolah hanya terfokus pada sang mantan. Baginya masih berat untuk melihat perempuan lain sebagai wanita yang membuatnya tertarik. Hatinya seolah hanya tertuju pada Ayu, apalagi saat mengetahui kalau perempuan itu merasakan apa yang ia rasakan. Jelas saja itu berat bagi Randu.

"Ya, kayak biasa. Masih pura-pura kuat dan baik-baik saja." Febi menghela napas, "gue capek lihatnya lama-lama. Lo kenapa nggak balik terus ajak balikan aja sih?"

"Belum saatnya."

"Mau sampai kapan? Lo sendiri emang nggak capek, Ran?" Kali ini yang bersuara Gilang.

Di seberang Randu menghela napas. Sejujurnya ia sendiri juga capek menjalani hidup seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak mau jika Ayu semakin membencinya. Perempuan itu cukup keras kepala. Ia tidak bisa seenaknya mengajak balikan kalau Ayu sendiri belum merasa siap. Dan menurut cerita yang selama ini ia dengar dari Febi dan juga Dita, Ayu memang belum siap kembali padanya.

"Seenggaknya nunggu dia siap dulu, Lang. Mungkin Ayu masih perlu waktu untuk benar-benar bisa memaafkan gue dan menerima gue lagi. Gue bakal sabar nunggu, Lang, gue anggap ini konsekuensi dari sikap gue sendiri. Gue yakin kok, cepat atau lambat Ayu pasti bakal balik sama gue."

Di samping Gilang, Febi tiba-tiba mendengus. "Jangan terlalu percaya diri Pak dokter! Gue denger Rhevan, mantan Ayu ngajak balikan."

Raut ekspresi Randu berubah tegang. Gelisah dan tak tenang menguasai dirinya. Mantan Ayu ngajak balikan?

"Jangan bercanda lo, Feb!"

"Ya, terserah lo sih mau percaya atau enggak. Cuma ini mantan Ayu sebelum sama lo. Tipe-tipe eksekutif muda yang ganteng dan bergelimpang harta. Perempuan itu mau diperjuangin, Ran, kalau gue jadi Ayu, jelas gue bakal lebih milih yang ini sih. Udah banyak duit, ganteng, jam kerjanya juga jelas. Nggak kayak dokter yang sewaktu-waktu dapet emergency call."

Di sebelah Febi, Gilang mencolek lengan sang istri. "Ay, suami kamu dokter loh kalau kamu lupa. Kok bisa-bisanya sih kamu ngomong gitu? Kamu nyesel nikah sama aku?" protesnya kesal.

Febi melotot kesal dan menyuruh Gilang diam sebentar. "Bentar diem dulu deh," bisiknya pada sang suami. Ia kemudian kembali menatap layar, "saran gue, Ran, lebih baik lo segera gerak cepat sebelum keduluan. Realistis aja sih, kalian posisinya sama-sama mantan. Lo di Singapure dan dia di Jakarta. Kalau lo nggak gerak cepat, udah jelas sih lo bakal keduluan."

Ekspresi Randu terlihat semakin tidak bersahabat. Sebelah tangannya terkepal kuat. Jelas sekali kalau ia sedang menahan emosinya mati-matian.

"Apa pekerjaan mantannya?"

Febi mengangkat kedua bahunya tidak tahu. "Gue kurang tahu pasti sih, cuma seinget gue udah naik jabatan gitu jadi manager. General Manager mungkin kali ya."

Febi berbohong. Rhevan memang sudah naik jabatan. Namun, bukan sebagai General Manager. Ia tahu pasti karena dulu Ayu pernah bercerita. Ia sengaja berbohong agar Randu segera bergerak cepat dan tidak membuang-buang waktu lagi. Ia lelah melihat keduanya. Ya, meski untuk Randu Febi tidak melihatnya secara langsung. Tapi mendengar nada suaranya yang sering kali terdengar seperti orang yang kehilangan semangat hidup, jelas membuatnya bosan. Febi benar-benar tidak tahan sekarang. Ia ingin mengakhiri semuanya secepat mungkin.

"Apa?! General Manager? Lo serius?"

"Kan gue bilang enggak tahu pasti, Ran. Tapi seinget gue emang bukan orang sembarangan sih. Ayu tuh punya selera yang cukup tinggi. Jadi emang enggak sembarangan kalau milih pacar."

Rahang Randu terlihat semakin mengetat. Ada perasaan tidak rela sekaligus merasa tersaingi. Ia tidak terima.

"Oke, gue bakal usahakan ambil cuti secepatnya. Gue mau kalian bantuin gue nantinya. Lo bersedia kan Feb?"

Dengan wajah sok polosnya, Febi mengangguk cepat. "Oke, gue sih nggak masalah."

"Lang?"

"Hmm. Serah lah, atur aja."

Sepertinya Gilang masih kesal dengan Febi soal yang tadi. Ekspresinya terlihat cemberut dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada.

"Oke, ya udah. Gue tutup. Thanks, Feb, buat infonya."

Febi mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Lalu sambungan terputus, Randu mengakhiri panggilannya.

"Kamu ini kenapa sih?" decak Febi terlihat kesal. Nyaris saja rencananya gagal karena Gilang yang mendadak merajuk.

"Kamu yang kenapa? Apaan maksud kamu tadi jelek-jelekin pekerjaan dokter? Aku juga dokter, Ay!"

"Astaga, kamu lebay banget sih? Aku tadi ngomong begitu cuma buat ngomporin Randu, kamu kenapa baper banget sih?"

Gilang menekuk wajahnya. "Tapi aku ikut panas, asal kamu tahu."

Febi menghela napas panjang. "Oke, aku minta maaf kalau apa yang aku ucapin tadi menyinggung perasaan kamu. Tapi aku ngelakuin ini juga buat temen kamu."

Alis Gilang reflek terangkat. Ia tidak paham ucapan sang istri. "Maksudnya?"

"Ya, bukan buat teman kamu aja, tapi buat Ayu juga. Aku mau mereka segera nemuin kebahagiaan mereka, aku nggak tahan ngeliat mereka begini terus, Ay. Aku capek."

"Bentar, bentar, maksud kamu, kamu bohong gitu soal mantan Ayu yang ngajak balikan?"

Febi mengangguk cepat lalu meraih toples yang berisi kue kering. Kalau putri mereka sudah tidur, ia jadi bisa lebih bersantai.

"Kalau pun ngajak balik beneran pun, belum tentu aku tahu sih, Ay. Soalnya Ayu lumayan tertutup, biasanya dia mau cerita soal pacarnya tuh kalau udah terlanjur ketahuan. Kalau enggak ya, enggak bakal cerita."

"Ya ampun, sampai sebegitunya kamu?"

"Aku bilang aku nggak tahan, Ay. Ayu itu keras kepala, dan udah sewajarnya Randu segera bertindak. Soalnya udah kelamaan dia kasih waktu Ayu. Enggak baik kalau dibiarin kelamaan."

Gilang mangguk-mangguk setuju. Apa yang diucapkan sang istri ada benarnya. Lama kelamaan ia sendiri juga mulai tak tahan sebenarnya. Kalau tahu sama-sama masih cinta kenapa harus putus? Kan lebih baik saling memaafkan dan berdamai lalu memulai hidup baru yang lebih indah.

"Duh, pinternya istri aku," puji Gilang sambil merangkul pundak sang istri. Ia benar-benar merasa bangga sekaligus berterima kasih padanya, karena sudah berusaha keras untuk membantu Randu.

Dulu saat ia melalui masa-masa sulitnya, entah itu saat ia sedang putus dari Febi atau bahkan saat ia mengalami penurunan kualitas sperma dulu, Randu selalu ada dan membantunya. Tapi saat giliran pria itu patah hati, ia justru tidak bisa membantu banyak. Dan itu membuatnya sedikit merasa sedih.

"Makasih ya, Ay. Aku sayang sama kamu."

"Dih, apaan sih, kayak pengantin baru aja," dengus Febi merasa geli dengan ucapan sang suami.

Gilang sontak langsung terbahak. "Emang yang boleh bilang sayang pengantin baru aja? Kan enggak."

"Itu mungkin berlaku untuk pasangan lain, tapi kalau kita, enggak. Apaan sih, geli." Febi langsung melepaskan rangkulan tangan Gilang dan menutup toplesnya, ia kemudian berdiri "udah lah, aku mau ke kamar. Aku tunggu di kamar sebelah."

Kamar sebelah?

Kedua mata Gilang langsung berbinar senang. Ia langsung berdiri dan menyusul sang istri.

Tbc,

Akhirnya Pak Bidan mau usaha nih. Bismilah ya gaes, semoga usahanya gk nanggung dan membuahkan hasil🤭😂🤣 Aamiin. Ciayoo, Pak Bidan. Aku padamu, eh, aku mendukungmu

Boleh dong dibantu koreksi😙😙😙

GamaphobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang