#######Ayu berjalan lemas menuju dapur. Sejak kemarin perutnya terasa tidak nyaman, bahkan ia baru saja memuntahkan sarapannya. Tenggorokannya terasa pahit dan ia butuh air hangat, setelah mendapatkan yang diinginkan ia kembali ke ruang tengah dan menjatuhkan tubuhnya pada sofa panjang. Tangan kirinya secara spontan memegang leher, mengecek suhu tubuhnya sendiri. Pagi ini ia merasa sedikit demam. Sepertinya ia perlu ke dokter. Saat otaknya sedang berpikir keras bagaimana ia harus ke dokter, tiba-tiba ponselnya berkedip pertanda ada panggilan masuk.
Dengan sedikit ogah-ogahan, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada nama Ajeng yang tertera di sana. Tanpa banyak berpikir, ia langsung menggeser tombol hijau dan menempelkannya pada telinga kanannya.
"Ya, halo. Ass--"
"Kamu sama Rhevan udah tunangan, Yu?"
Kepala Ayu mendadak pening, saat mendengar pertanyaan sang kakak. Ia menghela napas panjang, untuk sekedar mendengar namanya saja ia enggan apalagi ditanya tentang orangnya.
Kalau ditanya apakah Ayu sudah move on atau belum, jawabannya sedang on progress. Bagaimana pun Ayu masih merasa butuh waktu untuk benar-benar bisa menyebut dirinya sudah move on.
"Assalamualaikum dulu to, Mbak. To the point banget," gerutu Ayu sedikit kesal.
"Wa'allaikumussalam. Jadi kamu beneran udah tunangan sama Rhevan? Tanpa ngasih tahu Mbak atau Ibu?"
"Mbak Ajeng dapat hoax dari mana sih?" Ayu bertanya sambil menyandarkan kepalanya pada sofa, sebelah tangannya yang menganggur memijit pelipis yang terasa berdenyut.
"Bukan hoax, tapi Mbak baru liat postingan Rhevan di IG. Dia post foto dipasangin cincin, Yu. Itu kamu kan?"
Ayu menghela napas. "Bukan," jawabnya singkat.
"Hah?! Bukan gimana?"
Secara reflek Ayu menjauhkan ponselnya karena pekikan nyaring dari seberang. Ia berdecak samar menahan kesal.
"Nggak usah ngegas lah, Mbak. Biasa aja. Telinga Ayu masih sehat," protes Ayu.
"Ya, gimana bisa Mbak biasa aja. Orang jelas--"
"Kita udahan, Mbak," potong Ayu cepat. Ia tidak ingin membahas masalah ini sekarang sebenarnya, tapi sepertinya ia tidak punya pilihan lain, "nggak usah tanya-tanya dulu, Ayu lagi pusing."
"Pusing ditinggal tunangan pacar? Eh, mantan?"
Kurang ajar. Bisa-bisanya Ajeng bertanya demikian, di saat seperti ini pula. Tidak berperasaan sekali. Batin Ayu memprotes.
"Nggak usah ngeledek begitu deh, Mbak," decak Ayu kesal.
"Kamu lagi sakit?" Ajeng tiba-tiba bertanya dengan nada sedikit khawatir. Bagaimana pun ia hafal betul sifat keras kepala Ayu kalau sedang kurang sehat.
"Hmm." Ayu menjawab dengan gumanan.
"Mbak perlu ke Jakarta?"
Kali ini Ayu terkekeh mendengar jawaban Ajeng. "Mau ngapain? Numpang makan sama tidur doang? Nggak usah, ngerepotin aja."
"Yu, suara kamu kedengeran beda loh. Beneran sakit to?"
Ayu mendadak seperti terserang sindrom homesick. Ia merindukan Ibu, Kakak, dan keponakannya itu secara tiba-tiba. Ayu ingin menangis rasanya. Dadanya mendadak terasa sesak, kedua pelupuk matanya pun terasa memanas.
"Yu, kamu denger Mbak?"
Ayu berdehem sambil membenarkan posisi duduknya. "Iya, Ayu denger kok. Ayu nggak papa, cuma masuk angin biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamaphobia
ChickLitKegagalan pernikahan kedua orangtua dan Kakaknya membuat Pramesti Ayunindya takut melangkahkan hubungannya dengan sang kekasih ke jenjang yang lebih serius. Trauma jelas masih ia rasakan. Namun, pertemuannya dengan Randu Kalandra merubah segala. Aka...