Budak

210 41 3
                                    

A FanFiction by Avariene
Naruto belong to Masashi Kishimoto
-Mendamba Biru-


Hinata mengekori Naruto sejak dari kantor Hokage sampai ke rumah Uzumaki. Mereka baru saja memaparkan laporan misi secara lisan pada Rokudaime. Andai saja raut Naruto tak sedang menahan geram, pasti semua terlihat baik-baik saja. Tensinya seperti sedang ditekan tinggi-tinggi belakangan ini, terhitung sejak pergi ke Desa Tanah Liat.

Sebut saja Neji sebagai si penekan tensi. Entah apa yang merasuki sulung Hyuuga itu, sehingga menjadi begitu menyebalkan di mata Naruto. Caranya ikut campur dalam urusan dengan Hinata, kata-katanya yang seolah ingin terlihat keren di mata Hinata. Sampai di kantor Hokage pun masih terus berlanjut. Padahal biasanya Neji terkesan tak mau direpotkan dengan urusan orang lain yang bukan merupakan tanggung jawabnya. Tapi sekarang dia benar-benar menyebalkan.

Hal yang terjadi di kantor Hokage beberapa saat yang lalu adalah pertengkaran antara dua laki-laki dewasa anak buah Hokage yang konon digadang-gadang sebagai calon petinggi di Konoha kelak. Mereka bertengkar hanya karena meributkan masalah siapa yang akan membuat laporan misi secara tertulis. Naruto yang tentu saja memiliki Hinata sebagai budak dan asisten akan memberikan tugas itu pada Hinata. Gadis berambut biru tua itu tak keberatan sama sekali.

Tapi justru Neji yang keberatan dengan tugas yang akan diemban oleh Hinata. Dengan opininya yang mengatakan bahwa Hinata masih kelelahan, juga tupoksi yang berkaitan dengan laporan misi harusnya dilakukan oleh anggota tim yaitu Naruto sendiri, mengingat Hinata hanya ditugaskan sebagai asisten saja. Neji membuat Naruto sakit kepala, bukankah sama saja jika Hinata yang menulis? Toh tulisan Hinata jauh lebih ramah di mata dari pada tulisan karya tangan Naruto.

Keributan semakin bertambah ketika Neji mengungkit masalah kemalasan Naruto dan mengatakan bahwa lelaki berambut pirang itu tak bertanggung jawab untuk ukuran tangan kanan Hokage. Bahkan juga menyinggung Kakashi yang dinilainya salah karena memberikan Hinata pada orang seperti Naruto. Kakashi sendiri tak sanggup melerai ketika aksi saling tarik kerah pakaian terjadi antara kedua bawahannya. Sementara Hinata tak tahu harus berbuat apa, sekaligus merasa bersalah karena namanya ikut disebut-sebut dalam pertengkaran ini.

Untungnya kedatangan Sasuke, salah satu rekan mereka yang kebetulan juga akan memberi laporan misi, membuat mereka menghentikan kepalan tangan yang hampir melayang ke pipi masing-masing lawan. Hinata dan Kakashi menghela nafas lega. Sementara Sasuke hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Naruto dan Neji yang saling bertukar tatapan tajam.

Mereka meninggalkan kantor Hokage kemudian. Tentunya masih diwarnai dengan ancaman dari Neji yang tak akan membubuhkan tanda tangannya sebagai ketua jika Naruto benar-benar menyuruh Hinata untuk menulis laporannya. Ayolah ini hanya hal sepele, lagi pula Hinata sama sekali tak menyatakan rasa keberatan akan hal itu.

“Tuan muda, tunggu sebentar! Aku tertinggal.” Hinata terengah karena berusaha mengejar Naruto yang sedang berjalan dengan cepat sambil marah-marah.

“Ck lamban sekali!” Gerutu Naruto ketika melihat Hinata yang tertinggal 50 meter di belakangnya.

Alih-alih menunggu Hinata yang masih membungkuk sambil memegangi lutut, dia justru berlalu begitu saja sampai masuk ke kediaman Uzumaki. Sesampainya di rumah, Naruto duduk sambil berkacak pinggang di ruang makan. Kerutan amarah di wajahnya belum juga terurai. Membuat Hinata dengan takut-takut ketika duduk di seberangnya terpisah oleh meja makan rendah.

“Tuan muda...” Ucapan Hinata terpotong karena Naruto angkat bicara.

“Jangan dekati aku, aku pusing melihatmu! Apa lagi melihat matamu yang membuatku teringat akan si Hyuuga menyebalkan itu.” Naruto kemudian berbalik memunggungi Hinata, masih tetap dengan berkacak pinggang.

Bukannya mematuhi ucapan sang Tuan, Hinata justru mengambil aksi untuk duduk di samping Naruto sambil menyodorkan secangkir teh hijau. Agar Tuan muda lebih tenang, begitu pikirnya. Sementara yang didekati justru mundur beberapa meter untuk menjauh lalu bangkit berdiri sambil melayangkan tatapan jengkel pada budaknya.

“Kau benar-benar ingin membuatku gila?” Dia meneriakkan kejengkelannya.

“Tuan muda, maafkan aku jika aku salah. Aku akan tetap menuliskan laporannya seperti yang Tuan muda inginkan.” Hinata kemudian menunduk dalam-dalam.

“Persetan laporan sialan itu, aku tak peduli!” Gerutunya, membuat Hinata kelabakan.

“Tuan mudaku yang baik dan tampan, aku akan selalu mematuhimu, apapun yang dikatakan oleh Neji-sama.” Hinata merutuki mulutnya sendiri yang telah mengatakan perkataan seperti itu, kini dia sangat malu sampai pipinya memerah. Dia hanya ingin Tuannya tak merajuk lagi, namun yang terlihat sekarang adalah Tuan muda yang berusaha menahan tawa. Pasti ada yang salah dengan ucapannya, begitu pikir Hinata.

“Hahaha... kau merayuku seperti merayu anak kecil.” Naruto malah mengartikan ucapannya sebagai sebuah rayuan yang menggelikan. Mengubah kejengkelannya menjadi gelak tawa yang tak sanggup ditahan.

“Ahaha... aku tidak bermaksud begitu.” Tertawa kaku, itulah yang bisa Hinata lakukan saat ini, sambil menatap ke arah manapun yang penting bukan ke arah mata biru itu.

“Tapi benar kan aku tampan?” Naruto semakin mendekatkan dirinya ke arah Hinata, sementara yang didekati terus mencoba untuk menghindar, sampai-sampai punggungnya menabrak dinding penyekat ruang makan.

Isi kepala berambut biru tua berpikir keras, bagaimana caranya menjawab pertanyaan bernada jahil itu? Tuan muda memiliki wajah yang tegas, garis di pipinya tak lantas membuatnya terlihat aneh, itu cukup bagus. Hidungnya juga terlihat pas di wajahnya. Alisnya tebal khas alis laki-laki, namun bentuknya rapi sekali, dengan warna pirang yang cocok dengan rambut pendeknya. Dan matanya, demi Kami-sama... Hinata selalu terpana ketika harus beradu tatap dengannya. Ok, secara garis besar, Tuan muda memang tampan, Hinata mengakui itu.

“Apa kau lihat Sasuke tadi? Kata orang-orang dia adalah laki-laki tertampan di Konoha. Dia temanku, sejak kecil kami selalu bersaing, tapi untuk masalah ketampanan, aku tak mampu menyainginya.” Ucap Naruto sambil mengusap-usap pipi bergarisnya. Rupanya bagian pipilah yang membuatnya tak percaya diri.

“Umm... tapi menurutku Tuan muda juga tampan.” Kami-sama! Hinata benar-benar ingin menghilang seketika saat itu juga saking malunya.

“Tentu saja, sudah banyak wanita cantik yang mengatakan itu.” Ucap Naruto sambil berkacak pinggang.

Ada sedikit perasaan aneh yang dirasakan Hinata ketika Naruto membahas soal wanita-wanita itu. Terkadang Hinata bertanya-tanya, apa benar Tuan muda sudah tak lagi meladeni ajakan para Nona bangsawan? Terlebih sampai saat ini Hinata belum menyerahkan diri ‘seutuhnya' pada Tuan muda. Apa iya Naruto bisa sesabar itu?

“Hinata, kau juga cantik.” Pandangan Naruto melembut ketika melihat Hinata semakin merona malu. Membuat muncul keinginan untuk mencubit kedua pipi gembil itu, namun ditahannya. Yang ada hanya digantikan dengan tatapan yang tak bisa lepas dari wajah budaknya.

“Tuan muda.” Ucap Hinata sambil menyembunyikan wajah.

“Kau tak pernah menyebut namaku, tidakkah kau ingin melakukannya?” Tanya Naruto sambil mengusap puncak kepala Hinata.

Benar juga, sudah lebih dari empat bulan mereka tinggal bersama. Namun tak pernah sekalipun Hinata memanggil Namanya. Hanya ‘Tuan muda’ atau ‘Tuan muda Uzumaki’ saja. Bukannya Hinata tak mau, hanya saja lidahnya terasa kaku ketika mencoba untuk memanggil Naruto dengan namanya sendiri. Seakan takut hal yang tak diinginkan akan terjadi. Seperti perasaan yang selama ini ditahannya memberontak untuk diungkapkan.

“Cobalah sebut namaku, Hinata.” Titahnya.

“Umm... Na...” Hinata menelan ludahnya, terlebih tangan Tuan muda sudah turun ke pipinya.

“Naruto-sama...” Lanjut Hinata dengan suara pelan.

“Budak pintar.” Ucap Naruto.

Kemudian mendekatkan wajahnya ke arah wajah Hinata. Menyingkap rambut yang menutupi dahi budaknya, kemudian dikecupnya dahi itu selama tiga menit. Sambil meresapi Harum yang tercium dari rambut halus kesukaannya. Kemudian dipeluknya dengan erat tubuh mungil itu. Pertama kali mendengar Hinata menyebut namanya, membuat produksi hormon dopamin dan oksitosin dalam tubuhnya meningkat pesat, itu membuatnya senang.

“Apa kau menyukaiku Hinata?” Tanya Naruto sambil melepaskan pelukannya.

“Aku...” Pandangan Hinata meredup. Harus diakui bahwa ia inginnya menjawab pertanyaan Naruto dengan kata ‘iya'. Tapi akal sehatnya menekan agar tak mengatakan itu. Membuat dadanya terasa sesak dan matanya memanas.

“Aku tak masalah dengan itu.” Ucap Naruto sambil mengusap air mata yang menuruni pipi budaknya. Sudah lama ia menerka-nerka perasaan Hinata. Tidak mungkin Hinata malu-malu jika tak suka, mana mungkin Hinata menangisinya ketika tak bisa pergi ke Kuil Api bersama jika tak suka, bagaimana bisa Hinata masih setia merawatnya bahkan ketika sikapnya menyakiti Hinata jika memang tak suka, dan apa lagi penyebab Hinata yang tak ingin melihatnya marah jika bukan karena suka?

“Tapi kau harus tahu batasanmu, kau itu budakku.” Perkataan Naruto membuat air mata semakin deras mengaliri pipi Hinata. Tapi tak apa, yang penting Naruto masih bersamanya, pikir Hinata itu sudah cukup. Ah apa seperti inikah rasanya memiliki keluarga?

“Tuan muda, bagaimana rasanya mempunyai keluarga?” Tanya Hinata.

“Mengapa kau bertanya seperti itu?” Naruto balik bertanya.

“Aku hanya ingin tahu saja.” Jawab Hinata

“Um... itu menyenangkan. Kau akan dimarahi ketika kau salah, tapi  itu demi kebaikanmu. Mereka akan mengkhawatirkanmu bahkan jika kau seorang pembangkang. Mereka bahkan akan mengorbankan nyawa demi melindungimu.” Naruto mengenang kedua orang tuanya, membuat kesedihan yang selama ini dikuburnya muncul ke permukaan. Ck! Hinata membuat suasana hatinya berubah dari senang ke muram lagi.

“Benarkah?” Hinata semakin penasaran.

“Benar, tapi sebaiknya jangan terlalu dipikirkan. Kau tahu, ketika kau memiliki, kau harus siap kehilangan.” Naruto berucap tegas.

“Tuan muda?” Hinata berusaha menyentuh tangannya, tapi Naruto menghindar.

“Kau tak akan mengerti, lebih baik tidak pernah memiliki daripada harus merasakan kehilangan!” Ucap Naruto.

“Jahat sekali!” Hinata mulai terisak lagi, kata-kata Naruto terasa menusuk hatinya yang rapuh.

“Kau bilang aku jahat? Aku hanya bicara kenyataan!” Naruto bersikeras.

“Hiks... a-aku juga ingin dimarahi demi kebaikanku, aku juga ingin dikhawatirkan.” Ucap Hinata di sela tangisannya.

“Sudahlah, seorang budak tidak memiliki keluarga, dan tidak akan pernah!” Hinata semakin menambah buruk suasana hatinya, membuatnya ingin marah sejadi-jadinya pada gadis ini.

“Hiks... Tuan muda jahat!” Hinata sangat kecewa, lalu dia pergi meninggalkan ruang makan.

Bukannya Naruto tega, justru ia merasa kasihan jika Hinata terus berharap lebih. Di mata Naruto, Hinata itu tak punya harapan. Seorang budak tak akan pernah bisa diliputi rasa suka, apa lagi cinta, terlebih pada Tuannya. Seorang budak tidak akan pernah bisa menikah, berkeluarga, apa lagi dengan Tuannya. Sementara Naruto suatu saat harus menemukan wanita yang ia cintai kemudian menikahinya. Yang pasti tak mungkin dengan Hinata. Kalau boleh jujur, jika saja Hinata bukan seorang budak, Naruto tak keberatan untuk melabuhkan hatinya pada Hinata. Lagi-lagi sayang sekali tak mungkin.

Mendamba BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang