A FanFiction by Avariene
Naruto belong to Masashi Kishimoto
-Mendamba Biru-
Dengan perlahan dan Hati-hati Naruto membersihkan darah yang sudah membeku di sekitar hidung Hinata menggunakan lap yang dibasahi dengan air hangat. Secara medis, tubuh manusia akan mengalami rasa sakit ketika terjadi rangsangan pada nosiseptor yaitu reseptor yang dapat menerjemahkan rasa sakit, kemudian informasi tersebut diteruskan ke sumsum tulang belakang melalui neuron. Kemudian sinyal rasa sakit itu akan diteruskan ke otak yang selanjutnya akan memproses sinyal tersebut untuk kemudian memberi perintah pada bagian tubuh yang lain untuk merespon.
Segel yang tertanam pada tubuh Hinata sederhananya dikendalikan untuk merangsang nosiseptor, apa lagi segel itu sengaja disimpan di tengkuk yang lebih dalamnya lagi merupakan bagian dari tulang belakang. Dengan demikian Tuan yang memiliki segel dapat membuat budak merasa sangat kesakitan tanpa harus ada kontak fisik seperti memukul atau menusuk dengan senjata tajam. Boleh dikatakan bahwa segel itu memberikan informasi palsu pada nosiseptor.
Dalam kondisi tertentu, jika saja Tuan tidak segera menonaktifkan segelnya, itu bisa mengganggu sistem saraf pada budak. Akibatnya tak hanya sekedar merasakan sakit, tapi juga bisa lebih fatal lagi seperti kerusakan saraf permanen bahkan bisa berujung pada kematian. Naruto memahaminya, maka dari itu dia tak terlalu lama ‘menyiksa' Hinata dengan segelnya. Hidung Hinata mimisan, itu artinya terjadi pendarahan pada pembuluh darahnya, bisa jadi itu merupakan salah satu efek segel.
“Hinata bangunlah!” Sudah hampir 5 jam Hinata belum juga sadarkan diri.
Haruskah Naruto memanggil seorang tabib? Sakura? Pasti istri Sasuke itu akan menghajarnya habis-habisan jika tahu apa penyebab Hinata seperti ini. Semuanya akan jadi lebih rumit lagi. Berkali-kali Naruto juga menyeka air mata yang keluar dari mata yang terpejam itu. Apakah ini efek samping segel juga? Sampai-sampai Hinata menangis dalam tidurnya.
-Mendamba Biru-
“Nak! Nak!” Samar-samar Hinata mendengar suara lembut seorang wanita.
Perlahan pandangan Hinata menjadi sangat jelas. Dia mengenali tempat ini sebagai pelataran Kuil Api. Suara wanita yang memanggilnya berasal dari dalam kuil. Dengan ragu-ragu Hinata berjalan menuju pintu masuk. Matanya membulat ketika melihat bagian dalam Kuil ini. Sangat bagus, berbeda jauh dengan Kuil daun yang pernah didatanginya tempo hari. Rupanya Naruto berbohong ketika mengatakan bahwa kedua Kuil itu sama saja.
“Nak, kemarilah!” Suara itu terdengar lagi.
Wanita itu bermata sewarna mutiara. Dengan warna rambut yang sama seperti Hinata, hanya berbeda potongan saja. Hinata memperkirakan usianya mungkin hampir mencapai 40. Mungkinkah ini adalah dirinya versi dewasa kelak? Begitu pikir Hinata. Secara fisik wanita itu memang sangat kental dengan ciri khas Hinata. Didekatinya wanita itu, senyumannya sangat lembut dan membuat hatinya menghangat.
“Akhirnya aku bisa melihatmu. Oh ya, siapa namamu?” Tanya wanita itu.
“Aku Hinata, Nyonya siapa?” Kata Hinata.
“Aku... aku senang sekali akhirnya bisa melihatmu, kau terlihat seperti aku saat masih muda.” Wanita itu menangis terharu. Tangannya yang pucat menggenggam erat tangan Hinata. Lalu membelai setiap inci wajah manis di hadapannya.
Angin dingin berembus ke dalam Kuil. Bersamaan dengan itu juga pencahayaannya menjadi lebih terang dari sebelumnya. Benar kata wanita itu, Hinata melihat sendiri bagaimana wajahnya dan wajah wanita itu sangat mirip. Perbedaannya hanya terdapat pada guratan usia dan potongan rambut. Siapa dia?
“Tapi tidak seharusnya kau di sini sekarang.” Lanjutnya lagi sambil mengusap-usap kepala Hinata.
“Nyonya siapa?” Hinata mengulang pertanyaannya.
“Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, tidak sekarang. Meskipun aku senang bisa melihatmu, kau harus bertahan, jangan dulu ke sini.” Hinata semakin tak mengerti. Lagi pula bagaimana caranya dia bisa sampai ke Kuil Api, bukankah tidak boleh?
“A... Nyonya benar, seorang budak sepertiku tak seharusnya menginjakkan kaki di Kuil Api.” Ekspresi Hinata menjadi sendu. Sementara Nyonya itu jauh terlihat lebih sedih lagi.
“Budak? Kau seorang budak? Malangnya nasibmu Nak... maafkan aku.” Dia memeluk Hinata dengan sangat erat. Menyusupkan rasa hangat ke setiap sudut hati gadis berusia 17 itu.
“Nyonya siapa?” Pertanyaan itu lagi.
“Hinata, suatu hari kita akan bertemu lagi di sini, dan saat itulah kau akan tahu siapa aku. Maka untuk saat ini hingga hari-hari berikutnya bertahanlah, aku mohon bertahanlah sayang...” Setetes air mata jatuh dari mata Hinata. Entah apa penyebabnya, yang pasti Hinata merasa sangat sedih. Apalagi ketika Nyonya itu melepas pelukannya. Ada rasa tak rela yang berkecamuk di hatinya.
“Nyonya, aku ingin bersama Nyonya.” Hinata memohon sambil menggapai-gapai tangan pucat yang semakin menjauh terbang ke atas.
“Bertahanlah, Hinata!”
Cahaya terang muncul di ambang pintu Kuil, membuat Hinata kesilauan. Bersamaan dengan itu juga Nyonya asing itu menghilang begitu saja. Juga ruangan Kuilnya yang berubah menjadi langit-langit yang tak asing baginya, langit-langit kamar Tuan muda. Hinata terkejut, kemudian bangkit duduk secara tiba-tiba. Yang tadi itu mimpi kah? Rasanya sangat nyata.
![](https://img.wattpad.com/cover/279075174-288-k712990.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendamba Biru
FanfictionDia terus berjalan menjauh sangat jauh, namun masih terlihat oleh mata putih khas Hyuuga. Sudah hampir habis suaraku meneriakkan namanya, namun gelombang longitudinal ini sudah tak lagi menggetarkan gendang telinganya. Terasa hampir lepas sendi-send...