3

806 120 8
                                    

Tangan kurus Renjun ditarik paksa oleh Jeno. Mendorongnya dengan kasar untuk memasuki rumah yang ukurannya hampir sama dengan studio lukis milik Renjun. Mata Renjun memerah, begitu pula dengan tangan kecilnya yang sudah menapak jelas bekas tangan Jeno yang memegangnya terbilang kuat.

Jeno mulai membuka jaket yang menutup tubuhnya secara kasar, melemparnya kesembarang arah sembari berjalan mendekati Renjun yang masih berdiri memandang penuh amarah pada lelaki bersurai pirang itu.

Pandangan mata Renjun bagai dibakar api panas ia marah tapi tak bisa di ungkapkan. Renjun terlalu biasa memendam masalah dan amarahnya.

Tanpa takut Renjun masih menatap Jeno yang sudah dibakar api amarahnya. Tubuhnya tak gentar sedikitpun saat Jeno mulai menggerayangi tubuh kecilnya serta sesapan yang ia rasakan dibibir kecilnya.

Nafasnya bergemuruh, dadanya nyeri karena menahan amarah. Tak disangka air mata Renjun lolos dari pelupuknya membuat genangan yang memenuhi pipi kanannya. Buru – buru tangan kecilnya menghapus air mata itu.

Jeno menghentikan aksinya saat ia merasakan air mata Renjun mulai membasahi pipi. Ia mengambil langkah mundur untuk bisa lebih leluasa melihat wajah merah menahan amarah lelaki manis dihadapannya.

"Kau berniat meniduriku ? membuatku hamil dan mengakacukan kehidupanku yang sudah hancur ini ?!"

Jeno tak menjawab. Ia mengutuk dirinya sendiri yang melakukan tindakan kurang hajar pada seseorang yang baru ia temui beberapa hari. Tangan besarnya berusaha menggapai tangan yang lebih kecil. Tepisan yang ia terima.

Renjun berjalan lunglai melewati Jeno. Tubuhnya terlalu lelah menerima semua yang dilakukan Jeno padanya.

"Aku hanya mau kau melawan Renjun!" teriak Jeno saat Renjun tepat melewatinya.

Renjun membalik tubuhnya memandang mata bulan yang berhasil mengalihkan semua perhatiannya beberapa hari terakhir.

"Aku tidak bisa" Renjun menjawab lemah.

"Kau bisa... kau bis-"

"AKU BILANG AKU TIDAK BISA JENO!" Renjun berteriak akhirnya.

"Aku tidak seperti dirimu yang bebas, aku tidak seperti dirimu yang bisa melakukan apapun tanpa ada yang melarang dan aku tidak bisa sepertimu yang bisa melawan! Jadi Jeno, jangan samakan aku dengan dirimu yang kaut itu"

Renjun melangkah keluar meninggalkan Jeno dan kediamannya. Berjalan menyusuri gang kecil itu dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Renjun membenci dirinya sendiri pada saat ini. Dengan segala kesadarannya ia paham betul dirinya tak mampu melakukan apa – apa.

Saat merogoh sakunya mencari ponsel untuk sekedar menelepon suruhan ayahnya untuk menjemput dirinya tapi benda pipih itu tak ada.

"sial"

Tubuh kecilnya ia dudukan di bahu jalan, menunduk dengan wajah tenggelam pada kedua sisi lututnya. Sebenarnya Renjun bisa saja berjalan kembali pada studio lukisnya tapi rasa enggan dan muak karena pasti ia akan melihat rumah lelaki brengsek menurutnya.

Saat kesadarannya akan menjemput mimpi indahnya tangan besar menggoyangkan tubuhnya dan menarik tangan Renjun membuat mau tak mau membuatnya tersadar dengan tiba – tiba. Jantungnya berdetak cepat karena terkejut nafasnya tak beraturan, jemari kecilnya bergetar.

"Ayo pulang" suara berat Jeno mengintrupsinya dari rasa terkejut.

Tapi Renjun masih dengan posisinya, bahkan tubuhnya sekarang ikut bergetar. Nafasnya semakin tak beraturan. Jeno yang melihat itu membulatkan matanya, ia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Renjun.

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang