12

597 72 1
                                    

Denting suara jam dinding, gemericik air hujan mengenai jendela kaca yang tidak tertutup gorden, sang pemilik sengaja membukanya dengan tujuan melihat pemandangan lain selain dinding kamar berwarna abu dan suara teve yang menunjukkan acara yang hampir serupa.

Menghibur, nyatanya sosok manis yang sedang meringkuk sambil bergelung selimut itu tidak tertawa sama sekali, bahkan tarikan bibir ke atas sedikit saja tidak ada.

Tatapannya setia memandang keluar jendela, gamang dan hampa. Perasaan rumpang yang beberapa hari ini meliputinya.

Tangannya dibawa mengusap air mata yang tidak tertahan. Perasaan perih di hatinya tidak bisa ia hindari. Ia jijik setengah mati pada dirinya sendiri, demi tuhan.

Brak!

Pintu kayu kamar besar itu terbuka menampilkan sosok tinggi tegap penuh amarah tersorot dari matanya. Lebih dari itu ia kecewa, ia marah pada diri sendiri karena kelalaiannya.

“Katakan siapa yang melakukannya?”
Sang pemilik kamar masih diam tidak bergeming.

“Jaemin, jawab Ayah...”

Tubuh yang meringkuk itu dibawa duduk bersandarkan dipan kasur. Sosoknya masih diam, tapi tatapan penuh keperihan dan sakit luar biasa tidak bisa berbohong.

“Jaemin...” Ayahnya mendekat duduk di samping sang anak dan menggenggam tangan kurus penuh luka sayat itu.

“Ayah mohon padamu, katakan siapa orangnya.”

Jaemin diam, matanya sudah bertumpah air mata tidak sanggup lagi membendung rasa sakit di hatinya. Bibirnya yang pucat dan kering hanya mampu mengucap kata Ayah dan Ibu bergantian, mengatakan kata maaf tanpa lelah.

Dan untuk pertama kali sang Ayah yang selalu identik dengan sifatnya yang dingin memeluk tubuh bergetar anak bungsunya, usapan kasih sayang ia salurkan melalui tangannya di punggung Jaemin.

Saktinya sakit bukan main, Ayah mana yang bisa menerima anaknya di nodai. Dan istrinya, jangan tanya bagaimana sang punjaga menangisi nasib anak – anaknya, bahkan istrinya lebih seperti mayat hidup sekarang.

“Izinkan Ayah mencari tahu... Ayah tidak akan meminta apa – apa lagi padamu, cukup kau bertahan bersama kita semua, Ayah... mohon.”

.

.

.

Yuta tersadar dari lamunannya, saat ia berdiri di tempat penyimpanan abu si bungsu. Di balik kaca itu terpampang jelas foto sang anak tersenyum lebar dengan memegang kamera yang selalu ia bawa kemana – mana.

Luka terdalam Yuta, saat menemukan jasad sang anak di dalam bathtub penuh darah dengan luka mengaga di pergelangan tangannya.

Yuta mengutuk dirinya sendiri yang tidak mampu melindungi sang anak dari jerat lelaki tidak bertanggung jawab di luar sana. Lukanya membawa dampak yang begitu besar pada Yuta, sifat protektifnya semakin bertambah.

Winwin mengelus pundak sang suami, memeluknya dari samping memberikan ketenangan padahal ia sama hancurnya dengan Yuta.

“Harusnya aku tidak memaksa Jaemin pergi saat itu, harusnya aku mencari latar belakang anak Taeyong saat itu, harusnya aku mengirim puluhan penjaga untuk mengikuti Jaemin saat itu. Aku ceroboh karena percaya bahwa itu anak dari temanku, aku bodoh.” Tutur Yuta.

Winwin merapatkan bibirnya.

Manusia hanya bisa menyesal pada akhir cerita.

“Dan harusnya kau yang mati saat itu.”
Bukan, itu bukan Winwin. Kalimat berani itu di lontarkan lelaki dengan kulit pucat dan rahang tegas, Jeno.

Dengan tangan kanan membawa satu buket bunga tulip kuning, Jeno berdiri di samping Yuta dan Winwin. Baju serba hitam di hari peringatan kematian Jaemin.

“Harusnya kau juga mati karena rasa menyesalmu karena memaksakan kehendakmu saat itu tapi kenapa hanya Jaemin yang berakhir dengan nadi terputus, rasanya tidak adil.”

Jeno memejamkan mata sambil menunduk memanjatkan doa untung sang kasih yang sudah terlebih dulu pergi menyusul sang pencipta. Di balik sifat dinginnya ia rapuh saat ini, jiwanya beberapa tahun terakhir diliputi rasa sesal.

Ia mulai berandai seperti Yuta. Mungkin jika saat itu Jeno tidak mengabaikan semua yang di katakan oleh Jaemin pasti ia dan Jaemin saat ini masih duduk di kursi taman tulip seperti hari – hari yang lalu.

Ia terlalu dimakan oleh kata – kata sang kakak kandung yang ternyata dalang dibalik keputusan Jaemin itu.

Jeno menatap tepat mata Yuta. “Jika kau tidak egois mungkin semua tidak akan seperti ini.”

BUGH!

Satu pukulan telat Jeno terima dari Yuta, mencengkeram kerah baju Jeno. Bara panas di mata masing – masing tidak bisa di hindari, Winwin yang melihat Yuta hilang kendali berusaha memisahkan sebisa mungkin.

“Jangan kau bersikap paling terluka dan tersakiti Jeno! Kau mana tahu perasaan orang tua yang di tinggal anaknya!”

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang