6

716 105 8
                                    

"Katakan padaku, kehidupan macam apa yang kau tawarkan padaku Jeno, kau ingin membicarakan tentang hidup denganku? Maka ayo lakukan akan aku ceritakan bagaimana kehidupanku! Ah tidak, aku ingin mendengar dari mulutmu bagaimana kehidupanku dimatamu!"

Renjun melihat tangannya di dada, mata dan wajah memerah menandakan puncak amarahnya jika dipancing lebih jauh akan meledak seketika.

Bolehkan Renjun bicara kepada semua orang bahwa kehidupan yang dijalaninya jauh dari kata bahagia? Mungkin ekonominya bisa di katakana lebih dari kata cukup tapi apakah orang – orang akan mengerti bahwa di balik segala kemewahan yang ia rasakan ia tidak merasa bahagia?

Saat lelaki berambut pirang dihadapannya dengan lancang mengomentari bagaimana kehidupan yang ia jalani padahal Renjun sendiri yang menjalaninya tidak tahu kehidupannya seperti apa, ingin rasanya Renjun merobek mulut tipis itu.

Yang Renjun tahu, jika matanya masih terbuka saat ia bangun dari tidurnya itu artinya kehidupanya masih berlanjut. Ia masih perlu bernafas dan menerima rasa sakit yang ia pendam sendiri.

"Bukan itu maksudku – "

"Jadi apa?! Kau dengan lancangnya tanpa bertanya dan persetujuan dariku datang ke rumah Ayahku! Kau bicara seolah aku benar – benar sudah jatuh dalam pelukmu!"

Satu tetes air mata lolos dari pelupuknya. Renjun tidak bisa menahannya lagi, ia lempar papan cat yang ia pegang sedari tadi, di biarkan berserakan dilantai.

"Apa aku begitu mudah di mata mu Jeno ssi? AKU BAHKAN TIDAK TAU MARGAMU! Dan kau seolah tau segalanya tentangku!"

Lelaki berambut pirang itu memilih diam. Tanganya ia kepal dengan kencang sampai buku kukunya memutih. Ingin sekali rasanya Jeno menutup bibir yang biasanya merah dan lembab tapi hari ini terlihat lebih pucat dan kering.

"Tenangkan dirimu, aku akan kembali lagi nanti malam"

"Brengsek"

.

.

.

Seperti sebuah janji yang harus di tetapi Jeno datang ke studio Renjun untuk yang kedua kali hari ini. Menyambangi sosok yang selalu memandang Jeno penuh harapan dan memanjatkan doa agar ia menariknya keluar dari lembah yang setiap saat siap menenggelamkannya.

Jeno tahu pasti rasanya di kekang oleh kedua orang tua, di larang ini dan itu, selalu dalam pengawasan para penjaga yang mengikutinya walau dalam jarak aman.

"Renjun..." Jeno mengetuk pintu kuning untuk kali ini.

Suara langkah kaki dari dalam terdengar mendekatinya, pintu terbuka menampilkan sosok dengan apron putih khasnya yang selalu ia pakai setiap hari, Jeno sampai hapal dengan noda hitam yang menempel dibagian tengah itu.

"Sialan" umpatan langsung Renjun lontarkan saat tahu siapa yang ada di balik pintu.

"Aku bahkan belum mengeluarkan satu katapun Renjun"

"Mau apa, mau membicarakan kehidupanku?"

Jeno mendorong tubuh yang lebih kecil darinya sampai menubruk tembok, menutup pintu kebanggaan Renjun rapat – rapat. Jeno mengapit tubuh itu, mendesaknya semakin menempel pada tempok.

Desisan nyeri yang dirasakan Renjun pun ia abaikan amarahnya yang ia tahan sejak pagi memaksa keluar saat itu juga karena tidak tahan dengan perilaku mata serupa rubah dihadapanya itu.

"Cukup Renjun!" satu bentakan keluar dari mulut Jeno. Dilihatnya mata Renjun mulai bergetar.

Segera ia melonggarkan apitannya memberi ruang lebih untuk Renjun.

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang