5

739 105 6
                                    

Kasih tak sampai. Tiga kata yang pantas disematkan pada Lucas. Waktu seakan berjalan mundur saat ia menapakan kakinya di dalam kamar yang ia huni bersama sang istri. Ya, sebut saja begitu karena pada dasarnya kasih Lucas tak pernah sampai pada sang istri sah.

Kasihnya masih tersimpan pada seseorang yang saat ini tidak tahu keberadaanya dimana oleh Lucas. Masih jelas diingatan Lucas bagaimana sang Ayah menyeretnya masuk ke dalam sebuah ruangan yang berisikan semua informasi tentang punjaanya, Haechan.

Yuta mengancam sang anak tertua untuk melepaskan kekasih hatinya dengan dua kesempatan yang menurut Ayah dan Ibunya itu adalah pilihan yang terbaik.

Pertama, lepaskan Haechan dan akan dibiarkan hidup tenang tanpa gangguan apapun. Dan kedua, kau bersamanya tapi dengan abu Haechan yang tersisa.

Terpajang jelas gambar Haechan di hadapannya dengan senyum secerah matahari yang selalu membuat Lucas merasa hidup. Air matanya berurai membuat pipi tirusnya basah. Dengan segenap keteguhan ia bersujud dihadapan sang pilar keluarga Nakamoto. Memohon dengan segala usahanya yang tersisa.

Melepas Haechan adalah pilihan yang diambil, dengan satu syarat yang Lucas lemparkan kepada kedua orang tuanya. Biarkan Haechan hidup dan berada pada jarak pandangnya. Ia berjanji tidak akan berani menemuinya bahkan dalam jarak 10 meter.

Tapi, janji hanya janji yang diucapkan. Ia melepaskan kekasih hatinya untuk keselamatan Haechan tapi yang Lucas terima hanya kabar bahwa Haechan menghilang entah ada dimana.

Dukanya tak kunjung usai.

Lara selalu menyertai.

Saat separuh jiwanya hilang ia terpaksa menikahi seseorang yang baru ia kenal dalam kurun waktu tiga puluh hari. Hati mana yang siap saat pikiran dan jiwanya berkelana mencari sang belahan jiwa tapi ia harus berdiri dialtar berdampingan dengan orang lain.

Menyerah putusnya. Ia menyerah pada kehidupannya saat mengucap sumpah di depan pendeta dan tamu undangan. Air matanya bahkan tak bisa keluar walau ia paksa dan hatinya terlalu kecewa pada diri sendiri.

Meratapi nasibnya? Ia tak lagi butuh itu. Hidupnya sudah tak beraturan saat senyuman yang selalu mengirinya hilang.

***

Suasana makan malam rumah besar kediaman keluarga Nakamoto sedikit menegangkan dengan sosok lelaki berambut pirang di tengah – tengah mereka.

Renjun sudah tahu pasti hari ini akan tiba cepat atau lambat dengan mengingat ia kembali ke rumah orang tuanya dalam keadaan bisa di bilang mabuk. Ayah Renjun, Yuta sudah kehilangan kata untuk anaknya yang satu itu.

Padahal kalau di ingat Renjun hanya melewati batas sekali itu saja. Tidak lebih.

Renjun dengan tenang menyantap makan malamnya tidak sedikitpun menunjukan raut wajah ketakutan atau gusar. Ia berusaha menikmati permainan sang Ayah.

"Makanlah Jeno, Ayahku tidak suka saat orang yang di undangnya tidak makan hidangan yang sudah tersedia" ucap Renjun sembari memasukan potongan daging ke mulutnya.

Dan bagaimana dengan Jeno ? Ia senang. Ia menyukai suasana perang dingin yang meliputi mereka. Ia mengambil gelas yang berisikan wine menyesapnya lalu tersenyum.

"Tuan Nakamoto mengapa repot – repot mengundangku makan malam di istanamu padahal dengan jentikan jari kau bisa membuatku menghilang"

Yuta menyeringai "Itu permainan lama aku tidak menyukainya aku lebih senang berbicara baik – baik padamu"

"Cih.." di ujung meja makan seseorang mendecih mendengar omong kosong sang lebih tua.

"Terima kasih ? itu terdengar seperti sebuah kesempatan hidup"

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang