Last Hope in Perast

1K 77 8
                                    

Pemandangan indah di kota Perast, pesisir Montenegro tidak bisa mengalahkan keindahan senyum indah sosok manis yang sedang memandangi hamparan laut serta gunung di hadapannya. Di Teluk yang menjadi tempat kesukaan si manis untuk menghabiskan waktu sorenya, entah sudah berapa banyak lukisan yang ia buat hanya memandangi pemandangan indah di hadapannya.

Laut, gunung, rumah penduduk bergaya jaman dulu, teluk yang penuh dengan kapal - kapal dana kalau menjelang sore lampu di rumah penduduk menyala. Menambah indah pemandangan kota Perast, tampanya tinggal.

Wajah cantik dengan pipi yang lebih berisi memutuskan pergi jauh dari negaranya, meninggalkan semua yang membuat dirinya terluka sampai tidak bisa lagi mengenal dirinya sendiri. Tujuannya hanya satu, ia ingin ketenangan, ya, merasakan ketenangan batin yang ia cari sejak dulu.

Ketenangan itu ia temukan di kota Perast. Selama enam bulan hidup sendiri di negara orang lain tanpa gangguan dari orang lain ia merasa tenang. Ia bisa melakukan apapun tanpa takut melukai dan mengecewakan orang lain nantinya. Ia merasa bebas.

Bebas dari jerat menyakitkan yang dulu sungguh menyiksa.

Ketenangan dan kedamaian batinnya ia temukan tapi entah mengapa... rasanya masih ada yang mengganjal di relung hatinya. Sedikit, tapi mengganggu hatinya lebih banyak.

Bahagianya, Renjun belum menemukan kebahagian di kota Perast. Setiap malam di balkon rumahnya ia selalu berpikir apa yang membuatnya sedikit tidak bahagia ini, ia sudah meninggalkan segala lukanya tapi rasanya masih ada yang kurang.

Setiap malam menjelang tidurnya, Renjun selalu merasakan kosong di hatinya. Menolak keras perasaan yang nyata sekali ia rindukan sosoknya, walau sesaknya tidak terlalu tapi mampu membuatnya bisa tidak tidur semalaman. Renjun merindukannya... merindukan lelakinya, belahan jiwanya, Lee Jeno.

Ia sadar, rasa bahagia yang ia cari selama di Perast ternyata masih tertinggal di negaranya. Ia tidak bisa menampiknya lagi saat rindunya sudah terlalu memupuk tak bisa dibendung. Dan kini si manis sedang menunggu seseorang, entah suratnya sampai dengan selamat atau tidak tapi jika di ingat jarak dan waktunya mungkin saja lelakinya sebentar lagi sampai.

Ia tidak sabar.

Dengan balutan kemeja oversize berwarna biru langit, celana coklat berpadu indah di tubuhnya ia menanti.

Hari sudah menjelang sore, langit juga sudah berubah warna jingga, ia mulai gusar, tapi tidak juga, ia sudah belajar untuk tidak mengharapkan apapun dari siapapun.

Maka ia tersenyum.

"Renjun..." suaranya parau, hampir tidak terdengar.

Jarak mereka tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, dengan balutan jaket kulit hitam, kaos berwarna putih serta rip jeans yang dipakai lelakinya Renjun tersenyum.

Ia datang, pujaannya datang.

Maka dengan sekuat tenaga lelakinya berlari, menjatuhkan serta meninggalkan tas besar di pundaknya untuk memeluk sosok manis yang ia rindukan selama enam bulan terakhir.

"Aku merindukanmu," bukan, itu bukan Renjun tapi lelakinya, Jeno.

"Aku juga."

Maka semakin erat pelukan Jeno pada kekasihnya, ia tidak ingin lepas tidak ingin melepaskan kekasihnya lagi. Jika harus meninggalkan segalanya untuk selalu bersama Renjun maka Jeno tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya.

Jeno tidak mau lagi menjadi gila karena harus berjauhan dari Renjun cukup sekali dan ia tidak mau lagi. Ia benar - benar akan mati jika terjadi lagi.

"Aku sesak," karena sungguh sudah lima menit Jeno memeluk Renjun.

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang