11

603 73 0
                                    

Langit jingga sudah di gantikan oleh hitamnya penguasa malam tapi tubuh tinggi yang biasa selalu tegap itu duduk layu di kursi tengah hamparan taman bunga tulip kuning, tempat biasa ia beristirahat setelah seharian ia datang dan pergi hanya untuk melihat kasihnya dari jauh.

Lucas tidak ada henti mengutuk dirinya sendiri atas segala perbuatannya. Bertingkah pengecut dengan meninggalkan Haechan tanpa ada perjuangan. Ia mulai merasa ini karma buruknya karena telah berbuat jahat pada seorang paling ia kasihi.

Lucas dilupakan.

Itu balasan paling menyakitkan dari pada di pukuli Ayah atau Ibunya. Bahkan di benci menurutnya lebih baik dari pada tidak di ingat sama sekali.

“Wah salju turun.”

Lucas menengok ke samping saat suara lembut khas itu menyapa rungunya.
Indah.

Pemandangan indah yang Lucas dapat, senyum secerah matahari dengan sinar rembulan dari langit serta dengan salju yang mengelilingi sosok manis itu.

“Tuan, pakai topimu katanya jika salju menyentuh langsung rambutmu akan membuat rontok.”

Lucas masih diam, lelaki tinggi itu masih terperangah dengan keindahan di hadapannya.

“Tuan...”

“Haechan...” sosok manis itu menaikkan alisnya. “Ah maksudku Donghyuck, kenapa di luar, udara sedang dingin, kau mudah sakit.”

Sosok yang di panggil Donghyuck itu membulatkan matanya. Terheran bagaimana bisa orang asing di depannya tahu kalau dirinya mudah sekali sakit. Imun tubuhnya memang tidak sebaik orang lain dan hal itu hanya diketahui oleh orang – orang terdekatnya saja.

“Bagaimana tuan tahu kalau aku mudah sakit?” Donghyuck memilih duduk di kursi kosong sebelah Lucas. Dengan wajah menuntut penjelasan.

“Ah itu...”

“Ah! Appa yang cerita ya? Appa bilang kalau tuan anak dari temannya. Mau mencari seseorang bernama Haechan? Aku rasa ia sudah lama mati.”

“Maksudmu?” Lucas mengkeretkan keningnya.

“Iya... orang yang bernama Haechan itu aku rasa ia sudah lama tidak ada karena catatan medisnya dan datanya tidak ditemukan. Jadi bisa jadi ia korban pembunuhan tanpa identitas.”

“Dia belum mati.”

“Dia sudah mati dan itu lama sekali.”

Keduanya saling bertatapan menyelami netra penuh luka masing – masing.

“Itu perkiraanku tapi jika Tuan mau mencarinya silakan saja.” Donghyuck memutus tatapan sengit mereka.

Donghyuck menarik nafas panjang memenuhi paru – parunya. Tubuhnya ia sandarkan di kursi dengan mata menatap ke langit malam penuh bintang. Langit terlalu indah untuk kedua insan yang sekarang penuh luka.

“Nama Tuan siapa?”

“Lucas...”

“Tuan... Jangan mencari sesuatu yang sudah lama hilang karena belum tentu sesuatu itu akan kembali dan mau kembali. Tanpa Tuan sadari mungkin Tuan penyebab utama dia hilang.”

Donghyuck tersenyum menatap Lucas. Sedangkan yang di tatap hanya memberikan pandangan kosong dengan mata menggenang air mata.

“Kapan – kapan kita bertemu lagi ya. Aku pamit.”

Donghyuck meninggalkan lelaki tampan itu sendiri. Membiarkan Lucas bergulat dengan pikirannya. Dalam langkahnya hati sosok manis itu bergemuruh penuh, paru – parunya terasa sesak karena menahan sesuatu yang mendorong keluar.

Donghyuck tidak tahu perasaan apa yang sedang dia alami sekarang. Rasanya terlalu sesak. Sampai air matanya mengalir tanpa di minta.

.

.

.

Terhitung seminggu sudah Jeno tidak menemui Renjun setelah pertengkaran mereka. Bahkan suara motornya tidak terdengar olehnya.

Tangannya yang biasa sibuk berdansa di atas kanvas kini sedang memegang satu gelas teh guna menghangatkan tubuhnya, malam ini ia tidak melihat lagi sosok tampan bersurai pirang itu padahal jam sudah menunjuk pukul 12 malam.

Jangan tanya mengapa si manis masih di studionya, pesanan lukisan yang menumpuk membuatnya tertahan dan di tambah sosok yang ia rindukan dalam diam tidak menunjukkan batang hidungnya.

Alisnya naik saat melihat dua mobil hitam berhenti tepat di depan studionya. Tidak ia kenali karena itu bukan orang – orang suruhan Ayahnya. Jantungnya berpacu saat 6 orang itu berlari dan mendobrak pintu kuning studionya.

Dengan cepat Renjun meraih ponselnya menelepon Ayah dan juga kakaknya tapi nihil mungkin mereka sudah terlelap.

“Apa yang kalian – Akh!!!”

Renjun di seret tubuhnya di pukuli bagai kantung samsak. Dengan cepat ia mencari kontak yang ia pikir bisa membantunya.

“Jeno! JENO TOLONG AKU!!! AAKH!!! Studio!!! Jeno!!! Akh!!!”

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang