7

638 94 5
                                    

“Renjun... sayang...”

Renjun membuka pintu kamarnya, itu Kakak tersayangnya Lucas dengan semangkuk sup jagung dan susu putih. Terlihat tidak menarik tapi itu adalah menu andalan Lucas saat membujuk Renjun.

Renjun menatap jengah nampan itu. Renjun kembali meringkuk di kasur nyaman miliknya. Sudah seminggu sejak Renjun memutuskan untuk menghindari Jeno ia berdiam selama itu di kamar. Dan hampir setiap malam menangis.

“Makanlah sedikit...”

Renjun masih memilih diam. Memunggungi Kakaknya yang sedikit gemas dengan tingkah adiknya.

“Duduk yang benar, Hyung mau bicara”

“Makan sedikit saja walau Cuma tiga suap. Lihat tubuh mu”

Tubuh kurus Renjun bersandar pada dipan kasurnya, tatapan Renjun masih kosong, mata sembab pertanda menangis selama seminggu penuh tubuh kurus dan lemas tanda Renjun tidak cukup tidur dan makan.

Telaten Lucas menyuapi adik satu – satunya, menatap penuh nanar Renjun karena kembali teringat pada kejadian yang telah lalu.

“Kejar dia Renjun...”

Renjun masih diam lelaki mungil itu tahu arah pembicaraan kakaknya.

Sebenarnya bukan Renjun tidak ingin hanya saja begitu banyak pertimbangan yang ia pikirkan. Melabuhkan hati pada lelaki bersurai terang itu mudah saja tapi mempertahankannya yang sulit.
Dan belum lagi mungkin ujian dari segala rintangan yang di berikan sang Ayah begitu menghantuinya. Renjun bukannya tidak mau berusaha tapi ia cukup lelah harus terus menguatkan hati.

“Kalau kau menyukainya, kejar. Jangan seperti Hyung”

“Aku tidak mau dia terluka...” Suara Renjun serak.

“Lalu memilih kau yang terluka?”

Renjun menggeleng. Tubuhnya ia bawa mendekat pada sang kakak, menyembunyikan wajahnya di pundak lebar kakaknya, menumpahkan semua tangis pada sang Kakak satu – satunya.

“Aku takut kehilangan lagi hyung hiks, jika Jeno berakhir seperti dia, aku takut aku tidak bisa memaafkan diriku, aku takut aku seperti dulu lagi, aku takut dia-“

“Takutmu terlalu banyak. Cukup satu takut mu, kehilangan.” Lucas menaruh mangkuk berisi bubur itu ke nakas, memeluk adik kecilnya.

“Aku harus apa, hyung?”

“Melukis...”

“Studio ku dekat dengan rumah Jeno”

“Itu alasan.”

.

.

.

Dan di sinilah Renjun. Duduk di tangga depan pintu studionya dengan selimut yang membalut tubuhnya.

Sejak awal hatinya berat saat kembali menginjakkan kali kembali pada gang sempit studionya. Rumah Jeno tepat berada di hadapan gang itu jika kau mulai memasuki gang. Tulisan Sup Iga Sapi besar – besar membuatnya terlihat jelas.

Sejak pukul empat sore Renjun duduk di sana menunggu seseorang tapi nyatanya sampai sekarang sudah pukul delapan malam orang yang ia tunggu belum juga muncul. Dalam hati ingin menyerah tapi rasanya sayang jika nanti kalau – kalau orang itu lewat.

Wajahnya ia tenggelamkan di lututnya. Karena sungguh Renjun sudah lelah menunggu.

“Sedang apa?”

Renjun sontak mendongakkan wajahnya guna melihat suara siapa yang menyapanya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centi saja.

Saat netra kelam mereka saling bertemu dan di saat itu pula Renjun menyadari lelaki bersurai pirang itu memiliki luka yang sama dengannya. Terluka lalu menyesal.

“Kau sedang apa?”

“Menunggu mu...”

“Untuk apa?"

“Aku merindukanmu.” Bukan jawaban dari pertanyaan Jeno sebenarnya. Renjun hanya ingin menyampaikan apa yang ia rasakan.

Jeno menegakkan badannya. Tidak bisa di bohongi bahwa Jeno sebenarnya merindukan lelaki mungil menyebalkan dihadapanya tapi Jeno mencoba tenang.

“Kau sedang bermain layangan dengan ku?”

“Untuk kali ini aku tidak akan memintamu pergi lagi.”

Jeno menaikkan satu alisnya. “Tunggu, kau sedang menyatakan perasaan mu?”

“Apa merindukan seseorang berarti orang itu menyukainya?”

“Mau apa?” Jeno pada akhirnya mengalah. Suaranya lebih lembut kali ini.

“Tidak ada. Hanya ingin melihatmu. Kalau begitu aku masuk dulu, maaf mengganggu waktu mu.” Renjun berdiri, menepuk – nepuk bagian bokongnya.

Langkahnya gontai karena kakinya kram duduk berjam – jam di sana. Membuka pintu kuning kebanggaan Renjun. Namun saat pintu itu hendak di tutup lagi Jeno menahannya.

“Mana ponsel mu?”

“Untuk apa?” Renjun mengeluarkan ponselnya dari saku.

Jeno memasukkan nomor teleponnya. Menyimpannya dengan nama “Penyelamat Renjun”.

“Lain kali jangan menungguku jika di rasa aku tidak akan datang. Kau harus belajar memahami keadaan.”

Renjun tersenyum kecut. Kata – kata Jeno sekali lagi mengantarkannya pada kenyataan bahwa Renjun lebih dari itu sudah paham betul keadaannya. Bahkan, untuk kali ini Renjun memaksakan dirinya untuk egois.

Seketika ia menyesali perbuatannya menunggu Jeno seperti orang bodoh berjam – jam lamanya dan mendapatkan reaksi yang membuatnya sedikit kecewa.

Rasanya percuma membuang egoisnya dan malunya. Tapi rasanya malu Renjun sudah hilang jauh – jauh hari.

“Terima kasih saran mu.” Renjun merapatkan pintunya lagi. Dan untuk kali kedua Jeno menahan pintunya lagi.

“Boleh aku masuk? Jika boleh maka kau bersedia jika akan aku –“

Sebelum kalimat itu berlanjut Renjun membuka pintunya lebar – lebar. Memberi kesempatan untuk Jeno masuk ke dalam ‘kehidupannya’ kali ini. Dengan izinnya.

Jeno tersenyum. Senyum penuh arti jika Renjun lihat tapi untuk apa Renjun mengkhawatirkan senyum Jeno jika pada kenyataannya Renjun memanfaatkan Jeno untuk mengisi hari – harinya dan menaruh harapan pada Jeno.

.

.

.

Sudah berhari – hari dua insan itu menghabiskan waktu berdua. Studio dan rumah pribadi lelaki bersurai pirang itu menjadi andalan mereka menghabiskan waktu berdua.

Suara tawa memenuhi ruangan yang di penuhi lukisan itu. Malam ini berbeda dengan malam – malam sebelumnya yang mereka lewati dengan perang dingin tapi saling menginginkan. Yang ada hanya ada suara renyah tawa dari mulut mungil Renjun dan Jeno.

Jam yang menunjukkan pukul satu dini hari pun mereka abaikan. Dunia milik berdua. Mungkin kalimat itu pas di sematkan untuk mereka berdua.

Mereka seakan lupa bahwa ada sosok yang akan menentang dengan yakin hubungan tak berdasar itu. Dan mereka lupa bahwa hubungan mereka mudah saja berakhir karena memang tak berdasar. Karena sungguhnya terlalu tabu menggambarkan hubungan mereka. Fana, sefana – fananya.

“Tidak mau pulang, ini sudah jam satu malam.” Jeno mengelus pipi tembam yang menjadi kesukaanya saat ini.

“Bisa aku menginap di rumah mu?”

“Tidak.”

Renjun menaikkan alisnya saat mendapati jawaban cepat dari Jeno.

“Aku hanya khawatir jika nanti ayah mu marah. Kau tahu aku agak curiga karena ayahmu terlalu tenang anaknya aku ganggu berhari – hari.”

Renjun melipat bibirnya. Tidak mungkinkan Renjun mengatakan pada Jeno bahwa waktunya hanya satu bulan.

“Sebentar lagi, aku akan menelepon supir yang biasa menjemput ku.”

Ddddrrrtttt

Itu ponsel Jeno. “Renjun aku ke depan sebentar.”

“Ada apa ?” nada bicara Jeno berubah drastis.

“Bagaimana, sudah dapat?”

“Sepertinya.”

“Jangan terlalu lama, ingat rencana kita Jeno.”

“Dengar, aku mengikuti rencana mu semua aku lakukan untuk Jaemin bukan untuk mu atau hal lainnya. Jadi tidak usah kau bertanya terus.”

Aku hanya mengingatkan. Jika kau terlalu lama maka aku yang akan turun mengurusnya.”

“Jangan coba – coba menyentuhnya. Jika kau menyentuhnya maka kau benar – benar akan berakhir di tangan ku!”

Selama kau tidak mengulur waktu maka aku tidak akan mengganggu mainan barumu.”

Jeno menutup sambungan telepon itu. Jeno menjambak rambutnya kasar pikirannya berkecambuk tidak terima saat mendengar ancaman itu.

“Jeno~”

“Ya, Renjun ada apa?”

“Kau yang ada apa, ada masalah?” Renjun memeluk Jeno memberinya usapan halus di punggung lebar Jeno.

“Tidak, supir mu sepertinya tiba. Jika sudah sampai rumah kabari aku.” Jeno memberi kecupan di bibir Renjun.

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan mereka mempersilakan Renjun masuk.

Ada perasaan tidak suka saat ia harus berpisah dengan Renjun hatinya gamang. Pilunya hatinya lebih sakit dari sebelumnya saat ia melepas senyum indah itu menjauh.

.
.

TBC

Ya ampun banyak debu yaa! Wkwk.

Sudah lama publisnya terus singkat banget. Maaf ya.

Semoga tetep sabar nunggu cerita ini.

Hepi kiyowooo

Sehat - sehat semua 🦥

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang