10

589 83 3
                                    

Langkah kakinya tergesa saat memasuki lorong rumah sakit, kabar yang terlalu membuatnya panik sampai ia melupakan sandal untuk alas kakinya. Berlari secepat mungkin saat kabar bahwa lelaki yang mampu membuatnya mengerti apa itu kasih sayang dalam dekap hangat seorang terkasih. Seseorang yang mampu membuat bibir yang biasanya kelu kini terbiasa tertawa lepas terbaring lemah di rumah sakit.

Meneguk ludah saat kaki kecilnya menginjak lantai dingin ruang sepi itu. Tangannya bergetar bukan main, keringat bercucuran di kiri kanan pelipisnya, bibir bawahnya ia gigit menahan tangisnya pecah saat itu.

Nafasnya bergemuruh sama halnya dengan isi kepala serta hatinya. Berusaha mencerna tapi otaknya terus menolak.

Tangannya ia paksa memegang knop pintu, berusaha menyiapkan hati untuk menerima segala yang akan ia lihat nanti. Saat ini yang ia tahu adalah lelaki tersayangnya itu di ambang hidup atau mati.

Maka dengan pasti doa ia panjatkan kehidupan ia pilih.

Memejamkan mata dengan tangannya mendorong pintu yang sedari tadi ia pandangi. Isaknya tidak tertahan saat matanya terbuka dan mendapati tubuh kaku di hadapannya.

Kakinya berusaha mendekat guna melihat lebih jelas benar atau tidak itu lelakinya. Tangan bergetarnya meraih pipi tirus dingin itu. Ia masih tidak mencerna apa yang ada di hadapannya.

Mencari titik hangat di setiap tubuh dingin itu. Suaranya tersengal di tenggorokan, bahkan tangisnya tidak terdengar.

“Jung Jaehyun meninggal pukul –“

“Diam.” Suara pertama yang ia keluarkan dengan tangan yang menggenggam kuat jemari lelakinya.

“Jung Jaehyun meninggal karena bunuh diri jatuh dari lantai 12 apartemennya.”

“Diam.”

“Jasadnya harus segera di mandikan-“

“AKU BILANG DIAM!!! Tutup mulut mu!“ sosok manis itu tidak kuasa menahan segala luapan emosinya lagi.

“Bawa dia keluar, jasadnya di kremasi.” Suara yang tidak pernah sedikit pun asing untuk rungu lelaki manis yang sejak tadi menangis.

“Ayah yang melakukannya?”

Bibir itu diam enggan menjawab. Toh jika ia menjawab tidak tetap saja anak tengah keluarga Nakamoto itu meyakini itu perbuatan dirinya.

“Tidak... tidak!!! Jangan bawa dia!”

Jeritnya panik saat ranjang berisikan tubuh kaku kekasihnya akan di bawa keluar. Tubuhnya yang biasa lemah mendadak mengeluarkan segala tenaganya ia mendorong satu – satu petugas rumah sakit.

“Jangan menyentuhnya!!! Jika kau membawanya berarti kalian juga membawa mayat ku!!!”

“Renjun...” Ayahnya mencoba berbicara setenang mungkin. Karena jika dengan kekerasan terjadi kekacauan.

“Tidak Ayah aku mohon, Jaehyun dia harapan ku Ayah. Tidak bolehkah? Aku hanya mau Jaehyun Ayah.” Renjun berlutut di hadapan ayahnya dengan kedua tangan menyatu memohon belas kasihan tapi nyatanya hati Ayahnya sekeras batu.

“Harapanmu harus segera di kremasi Renjun. Pegangi dia, dan bawa jasadnya.”

“A-apa? Ayah! Tidak! Tidak!!! Jaehyun!!! Jaehyun!!!! Tidak! Ayah aku mohon Ayah!!!! Jaehyun bangun!!!”

.

.

.

Acara kremasi yang hanya di hadiri oleh Renjun itu berjalan begitu lama. Jangan tanya mengapa akhirnya sosok manis itu kini berada di krematorium tempat kasihnya di bakar, segala permohonan ia mohonkan pada sang Ayah.

Prosesi kremasi terasa lama karena hanya ada dirinya. Renjun seorang diri. Keluarga Jaehyun? Dia yatim piatu sejak lahir. Besar di panti asuhan dan hidup mengandalkan kerja sambilan di mana – mana. Yang cukup kalian tahu mengapa Renjun begitu mencintai Jung Jaehyun, lelaki itu tidak pernah mengeluh tentang perihnya hidup. Sama sekali.

Katanya “Hidup memang berat Renjun. Tapi, akan indah jika kau bersyukur menjalaninya. Seberat dan seperih apapun.”

Sudah dua hari Renjun tidak tidur dan sudah dua hari pula ia tidak ada hentinya menangis. Tapi untuk kali ini tidak ada isakan dan air mata, hanya ada perasaan hampa di hatinya. Kosong. Hatinya kosong, rasanya rasa sakit di badan hingga hatinya sudah tidak terasa lagi. Yang ada di pikirannya hanya ada satu nama, Jung Jaehyun. Kekasihnya.

Matanya bergerak menatap pantulan nama yang berubah menjadi warna hijau. Itu pertanda kremasi lelakinya sudah selesai. Tangannya yang sejak tadi memeluk guci untuk nanti di taruh abu Jaehyun dia bawa memasuki tempat khusus itu.

“Kau suka warna hitamkan? Maka aku bawakan khusus yang berwarna putih untukmu, agar kau marah lalu menyeret aku ikut dalam pusaranmu.”

Kini Renjun duduk di bawah pohon yang di bawahnya sudah tertanam abu Jaehyun. Tidak melakukan apa – apa hanya duduk menatap kosong pohon – pohon lain di sekitarnya.

Sampai awan berubah gelap ia baru beranjak dari duduknya.

“Jaehyun... boleh tidak aku menyusulmu?”

Tanpa isak dan air mata Renjun menatap kosong. Saat angin berhembus mata yang sudah lelah itu menutup merasakan sejuk angin menemani sore hampanya.

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang