17

657 76 4
                                    

Gemuruh suara petir, hujan dan ombak saling bersahutan di luar studio lukis barunya, mengalahkan suara jeritan hatinya. Matanya menatap lurus pada hamparan taman bunga sebelah kamarnya.

Isi kepalanya selalu ribut, memintanya berteriak sekencang mungkin, tapi dengan segenap kekuatannya si cantik itu menahan jerit yang sudah sampai di tenggorokannya.

Bayangan sang adik yang terkapar tidak berdaya dalam rendaman air bathup dengan darah mengucur di pergelangan tangannya membuatnya tidak mampu tidur dengan nyenyak sejak saat itu.

Ditambah bayangan kasihnya yang terbujur kaku dalam kamar mayat dengan luka yang tidak bisa ia hitung jumlahnya dan lagi... tubuhnya hampir tidak utuh karena jatuh dari ketinggian.

"Akh!"

Renjun memukul dadanya keras sampai bunyi nyaring itu terdengar keluar. Air matanya sudah membasahi pipi yang semula tembem itu.

Saat bayang - bayang itu datang Renjun tidak bisa menahan sesaknya, gelombang pikirannya terus saja datang. Obat tidur yang ia minum tidak mempan membuatnya mengantuk di tengah rasa sesaknya.

"Renjun!" Pintu studionya terbuka, oh, itu Yangyang.

Cekatan Yangyang mengambil gelas berisi air, setidaknya membuat tuannya itu sedikit tenang.

"Tarik nafas, pelan - pelan saja."

Peluh sudah membanjiri Renjun, bajunya bahkan basah karena keringatnya. Tangan kurusnya mencengkeram sisi bajunya, menyalurkan rasa sakit yang meliputi hatinya.

"Harusnya jangan ditahan, keluarkan saja."

Yangyang mengerti apa yang dialami Renjun bukannya hal yang mudah untuk dilupakan. Ia tidak mau menekan Renjun untuk bisa melupakan kejadian yang menimpa tuannya. Karena semakin dipaksa untuk lupa maka ingatan itu akan semakin sering datang menghantui pikiran.

"Kenapa, Renjun kenapa?!"

Tanpa permisi si tampan menyingkirkan Yangyang yang tengah menenangkan Renjun. Wajahnya ketara khawatir bukan main.

Lelaki itu menerobos masuk saat ia melihat dari jendela jika kasihnya tengah mengalami kesulitan. Tanpa berpikir bahwa mungkin saja Renjun akan menolak kehadirannya kembali seperti sebelum - sebelumnya.

"Kenapa, Renjun ada apa? Dimana yang sakit?"

"Jeno... hiks."

Si cantik tanpa tahu malu memeluk kasih-nya yang berlutut di hadapannya. Membenamkan wajahnya di pundak tegap kasihnya, membanjiri baju Jeno dengan tangisnya.

Perlahan Yangyang mundur untuk memberi ruang untuk tuan serta sahabatnya.

"Aku di sini, aku di sini Renjun." Tangannya tidak berhenti memberikan elusan untuk menenangkan Renjun serta kecupan di pucuk kepala Kasihnya.

Si cantik mulai tenang, tubuhnya tidak lagi bergetar karena tangis hebatnya, cengkeramannya pada baju Jeno pun sudah mengendur, saat ini ia menyandarkan kepalanya pada pundak tegap kasihnya.

Jeno menggendong Renjun, membawanya duduk diatas sofa. Alih - alih membuat Renjun duduk di sofa Jeno memangku Renjun agar tetap dalam pelukannya. Dan sepertinya itu juga yang diinginkan Renjun karena pelukannya tidak kunjung ia lepas.

"Sudah lebih baik?"

Renjun mengangguk, tanganya masih setia mengalung di leher Jeno, merapatkan pelukannya lagi. Si cantik tidak ingin lepas, karena sungguh obat paling mujarab untuk menenangkannya adalah pelukan Jeno.

"Kenapa?" Tanya Jeno lembut.

Renjun masih diam, ia masih mencoba berpikir apakah ia harus menceritakan apa yang ia alami, apa yang ada dipikirannya pada Jeno? Mengingat lelakinya selain menjadi obat juga menjadi penambah luka padanya.

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang