13

610 76 1
                                    

Pohon rindang berukuran sedang dengan papan nama tertancap di depannya menjadi saksi tumpahnya air mata sosok manis yang sedang menekuk kakinya dan membenamkan wajah di antaranya.

Terpaan angin sejuk sore hati dan pemandangan matahari terbenam di depan matanya tidak dapat merebut atensinya dari kegiatan menangis.

Wajah manisnya ia angkat memandang kedepan, rasanya seperti deja vu. Rasanya dulu Renjun sering melakukan hal seperti ini setiap hari, dan rasanya ia malu pada jasad yang sudah tertanam di bawah tanah yang ia pijak.

Renjun malu, ia datang di saat hatinya patah, jiwanya lemah.

Renjun buka sepatu boots semata kaki dengan cuban yang tidak terlalu tinggi. Kakinya lecet karena berlari jauh, dan lagi ia berjalan kaki sampai ke tempat tujuannya sekarang.

Tubuhnya ia sandarkan pada pohon di belakangnya. Matanya menatap kosong, dalam hati ia bergulat dengan diri sendiri karena hal apa lagi yang membuatnya merasakan sakit hati yang parah lagi.

“Kau pasti sedang menertawakan aku kan, Jaehyun.”

Renjun tertawa getir, menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodohnya tidak bisa membaca tujuan dan maksud Jeno selama ini. Renjun hanya alat balas dendam Jeno.

Jika, jika dari awal Renjun tahu adiknya Jaemin yang menggantikan dirinya dalam perjodohan maka Renjun dengan keras melarang Jaemin untuk pergi.

Dan jika, jika saat itu Renjun tidak dalam keadaan depresi mungkin adiknya masih ada di hadapannya, berbagi baju yang sama dengannya.

“Aku pembunuh Jaehyun.”

Renjun menangis lagi, ia menangisi dirinya yang lemah ini. Menangisi adiknya yang harus rela di renggut kehormatan dan bahagianya karena ulahnya yang tidak mampu berdiri dan di ajak bicara dulu.

Renjun merogoh sakunya. Sejak awal pelarian kaburnya, ponselnya tidak kunjung berhenti berdering. Ada beberapa nama yang tetap meneleponnya, yaitu Ayah, Ibu,  Lucas dan Jeno. Renjun lempar sembarang ponselnya.

“Jeno...”

Renjun tersenyum getir saat menyebut nama lelaki brengsek itu. Kalian tahu rasanya di bodohi, di permainkan dengan mudahnya lalu kau terjerat kailnya? Oh tentu sang pelempar kail tertawa senang saat umpan pada kailnya dimakan.

Dan Renjun sedang membayangkan bagaimana senangnya Jeno saat ia terjerat pesona dan janji penuh harap yang lelaki itu berikan.

“Bajingan.” Renjun menggeram.

“Jaehyun-ah, aku harus bagaimana, ikut denganmu saja bagaimana?” semilir angin menerpa wajah Renjun. Ia tersenyum, selalu begini, selalu saja diberi isyarat olehnya.

“Masih tidak boleh, ya? Tapi aku lelah, aku tidak tahu hidup macam apa yang aku jalani saat ini Jaehyun.”

Renjun kembali diam, dan lucunya ponselnya masih berdering.

“Aku harus pergi sekarang Jaehyun, atau nanti mereka menemukan aku. Kau yang meminta aku untuk bertahankan?”

.

.

.

Di sisi lain, Jeno berusaha mencari keberadaan sosok manis yang berhasil menyita sebagian tempat di hatinya. Yang ada di kepalanya hanya ada satu nama, Renjun.

Mulut bodohnya itu tidak dapat di kontrol di saat tertentu dan lagi Jeno pun tidak menyangka akan hadirnya Renjun di hari peringatan Jaemin, mengingat bahwa sosok manis itu tengah terluka akibat ulah kakaknya.

Hatinya gusar bukan main karena demi tuhan jika terjadi sesuatu tang buruk pada kasihnya, Jeno bersumpah akan mengutuk dirinya sendiri menjadi debu.

Drrt

(Last) Hope | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang