3. Foreign Memory

1.2K 143 2
                                    

Jangan lupa vote dan komen!
Arigatou, udah mampir dan membaca cerita gajeku 💙
.
.
.
.
.
.
.
.
.
_________________________________

"Nona, Anda semakin aneh saja, sepertinya Anda kurang sehat. Apa mungkin karena semalam Tuan Duke tidak datang ke kamar Anda." Erin mulai dilanda kebingungan, pasalnya sikap Amelia hari ini cukup aneh dari biasanya, ya, meski Amelia memang sudah aneh dari lahir, selalu bersikap posesif pada apa pun yang ia sukai. Namun, untuk hari ini sikap Amelia kelewatan aneh karena berbicara hal yang tidak masuk akal.

Amelia yang tidak mengerti maksud ucapan Erin lantas mengernyit keras. "Tunggu dulu, kenapa jalan pembicaraan Anda semakin melenceng saja. Aku ini habis tertabrak mobil, seharusnya sudah mati dan berada di surga. Lalu bertemu malaikat impian yang akan melayaniku tiap harinya. Kenapa juga ada sangkut paut dengan Tuan Duke yang anda maksud itu? Apa dia malaikat penjaga pintu surga?" timpal Amelia, sebenarnya dia masih bingung, apakah dia sungguh masih hidup atau sudah berada di surga. Dan dia beranggap kamar ini adalah kamar menuju surga.

Erin mendesis pelan, sudah tidak tahu harus membalas seperti apa. Sama halnya seperti Amelia, dia juga merasa topik pembicaraan semakin aneh saja. Aneh karena Amelia terus membalas dengan perkataan aneh dan tak masuk akal.

"Mobil? Mati? Surga? Malaikat? Saya rasa Nona sedang sakit. Saya akan panggilan Tabib untuk Anda." Erin rasa memang Tabib yang diperlukan Amelia sekarang. Dengan sikap Amelia yang semakin aneh saja, Erin khawatir kalau majikannya ini sudah tidak waras lagi, lantaran terus diacuhkan oleh suaminya sendiri. Pasti begitu, pikir Erin.

Beranjak Erin ingin memanggil Tabib, khawatir sikap aneh Amelia semakin parah. Bersamaan dengan kepergiannya, Amelia berteriak setengah keras memanggilnya.

"Tunggu dulu! Siapa yang Anda katakan sakit? Saya? Ohoho ... justru Anda yang sakit. Saya memang habis merasa galau karena masalah cinta, tapi bukan berarti saya sudah tidak waras lagi." Amelia mendengus keras, membalas ucapan Erin yang menurutnya terdengar seperti ejekan untuknya. Seolah Amelia ini mengalami sakit yang membuatnya kehilangan kewarasannya.

'Aku? Gila? Huh, kamu saja yang gila?'

Namun, Erin tak menggubris ucapan Amelia, Erin justru semakin yakin kalau Amelia sudah menjadi gila, sebab cara bahasa Amelia sejak tadi terdengar sangat asing dan aneh tentunya.

Melihat Erin terus pergi tanpa memedulikan ucapannya, Amelia segera beranjak, berniat mengejarnya.

"Hei! Tunggu!"

Namun, naas, saat Amelia hendak mengejar wanita paruh baya itu, Amelia tiba-tiba saja tersungkur ke lantai akibat kakinya tersangkut di selimut. Dan naasnya lagi, wajahnya yang pertama kali menghantam ubin.

Bruk!

"Aduuhh! Sa-sakit! Eestt ...." Amelia segera bangkit dan duduk di lantai sembari memegangi hidung malangnya yang pertama kali menabrak lantai. Bisa ia rasakan sesuatu kental keluar dari sana.

"Da-darah?! Aku mimisan?!" Terbelalak Amelia melihat darahnya sendiri. Meski bukan kali pertamanya Amelia melihat darah, tapi inilah kelemahannya, dia sangat fobia terhadap darah, mau itu darah hewan atau darah manusia. Dan setiap kali ia melihat darah, kepalanya pasti akan berdenyut sakit dengan matanya yang berputar-putar seperti orang juling.

"Ugh! Eesstt ...." Tepat seperti yang ia khawatirkan, kepalanya mulai berdengung sakit. Sangat sakit dari rasa sakit biasanya. Amelia memegang kepalanya, meremas rambutnya sambil meringis pelan menahan sakit.
Bersamaan dengan itu, sekelebat ingatan asing masuk ke otaknya. Dan entah karena kepalanya yang memang terasa sakit atau rasa sesak yang dia dapat ketika ingatan asing itu masuk, Amelia tiba-tiba dia jatuh pingsan.

***

"Siapa dia, Yona?"

Bocah cantik berambut kuning panjang bergelombang, memiliki mata biru indah seperti berlian, bertanya pada seorang pelayan paruh baya di sampingnya. Pandangannya pada bocah laki-laki berusia sekitar 7 tahun tidak terlepas. Entah kenapa dia merasa tertarik dan enggan untuk melepaskan bocah laki-laki itu dari pandangannya barang sejenak, seolah takut kehilangan bocah tersebut.

"Dia Tuan Muda Erick Wesley, anak dari Tuan Duke Aroy Wesley," jawab pelayan bernama Yona.

Bocah cantik itu terdiam sejenak, ada yang aneh menurutnya. "Kenapa aku tidak pernah melihatnya, Yona? Aku pikir Paman Aroy tidak memiliki anak."

"Itu karena Tuan Muda Erick dibesarkan di wilayah perbatasan dan baru bisa pulang setelah mendapat kabar kematian ibunya. Kasihan, dia masih sangat kecil, tapi sudah harus menghadapi situasi menyedihkan seperti ini, apalagi Tuan Muda Erick tidak pernah pulang lantaran Duke Aroy tidak ingin dia pulang sebelum menjadi pria hebat," jelas pelayan itu lagi.

Mendengar penjelasan Yona, bocah perempuan itu mengangguk, seakan mengerti dengan penjelasan pelayan itu. Dia kembali terdiam sambil terus menatap punggung bocah bernama Erick Wesley itu, cukup Lamat ia menatapnya lantaran rasa penasaran sekaligus simpatik setelah mendengar kisah malang tentang Erick.

Deg!

"Ah ...."

Saat gadis kecil terus menatap Erick yang memunggunginya, bocah laki-laki itu tiba-tiba berbalik, menatapnya untuk sesaat dengan raut wajah datar, lalu kemudian pergi begitu saja dari tempat pemakaman.

'Tampan sekali. Dia ... dia hebat! Dia tidak menangis meski telah kehilangan sosok yang berarti baginya,' puji gadis kecil itu dalam hati dengan pipi yang mulai bersemu. Dia sangat terkesima melihat Erick tak sedikit pun mengeluarkan air mata di hadapan makam ibunya. Jika itu dirinya sudah pasti ia akan menangis keras hingga meraung-raung seperti orang gila lantaran ditinggalkan sosok yang amat disayang.

Setelah Erick benar-benar hilang dari pandangannya, barulah dia kembali tersadar dari rasa kekagumannya pada Erick.

"Yona!"

Tiba-tiba gadis kecil memanggil pelayannya lagi dengan nada sedikit keras. Untung saja mereka berdiri di barisan belakang sebab tidak ingin terlihat banyak orang, jika tidak, semua orang pasti akan melirik ke arahnya, dan sudah pasti orang tua serta ke dua kakaknya akan menegurnya sebab bersikap tidak sopan, berteriak di saat acara pemakaman berlangsung.

"Ya, Putri," jawab Yona segera.

Bocah cantik itu menatap ke arah Yona dengan pandangan cukup serius. "Ketika aku besar nanti, aku ingin Erick menjadi suamiku," ucapnya enteng, dan jangan lupa dengan senyum tanpa beban yang mengakhiri ucapannya.

"Apa?!" Yona terkejut sampai menjerit. Segera saja dia menutup mulutnya ketika seseorang di depannya berbalik lalu memberinya tatapan tajam, seakan berkata, diamlah, pemakaman sedang berlangsung, apakah kau tidak tahu sopan santun? Yona pun segera meminta maaf atas ketidak sopanannya.

Yona menunduk lalu berbisik pelan pada bocah cantik itu. "Putri, Anda tidak boleh berkata seperti itu, jika yang lain mendengar ucapan Anda tadi, bisa terjadi kesalah pahaman nantinya." Yona menatap majikan kecilnya cemas sekaligus terkejut.

Bagaimana tidak? Bayangkan, bocah kecil yang masih berusia 4 tahun tiba-tiba saja berkata sesuatu hal dewasa begitu lugasnya, tanpa berpikir apakah ucapannya itu cukup wajar atau tidak? Usianya masih 4 tahun, loh! Tapi dengan santainya berkata ingin menikah dengan pria yang baru saja dia kenal. Sudah pasti mengejutkan!

Raut wajah gadis kecil itu berubah datar. Dia tahu apa yang dia lakukan memang terlalu mengejutkan, tapi apalah daya dia sudah bertekad dan berjanji pada dirinya bahwa ia akan menemani Erick seumur hidupnya, agar pria kecil itu tidak kesepian.

"Aku ingin membantunya menghapus kesedihannya, Yona. Jika Ayahnya tidak sayang padanya, maka aku yang akan menyayanginya," ucapnya mantap.

#Bersambung

A/N : Anjir, gue tersindir 😑 gue yg tua aja belom nikah

@Amelia 🍁

Jiwa PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang