Bab 9. Kenyataan

1.3K 165 25
                                    

As always, mari saling menghargai, saya menunggu banyak komentar untuk melanjutkan

***

Yang Renjana lakukan sejak mereka meninggalkan kediaman Nandito hanya diam, ia tidak berani membuka mulut karena masih merasakan sisa amarah ibunya yang walaupun tidak tertuju padanya. Ia larut dalam pikirannya sendiri hingga berjingkat kecil saat ibunya mengajak bicara.

"Ren, kamu fine sama keputusan Mama?"

"Mama bahagia?" Renjana balik bertanya.

Ibunya diam sejenak, tampak tidak yakin. "Untuk sekarang, belum. Tapi rasanya lega banget." Tuturnya seraya mengusap dada.

"Mama masih cinta sama Papa?" Renjana menelisik ekspresi ibunya dari samping.

"Mama pernah bilang kalo Mama udah ngga cinta?"

Renjana menggeleng, tapi sikap ibunya selama ini membuat Renjana berspekulasi bahwa mereka sudah tidak saling mencintai. Apakah ia salah?

"Dulu saat masih kuliah, Papa kamu jadi ketua BEM, selain cerdas dan etikanya baik, dia juga ganteng. Mama yang waktu itu ambil bagian Humas selalu deg-degan kalo liat Papa kamu mimpin rapat buat acara kampus." Winda menghentikan mobilnya saat sampai di gerbang tol. "Gak lama kemudian sekretaris BEM jatuh sakit dan gak masuk sampai berminggu-minggu. Papa kamu nunjuk Mama buat gantiin posisi itu buat sementara karena mungkin dia liat Mama yang kompeten. Kami deket gitu aja, sampai kemudian Papa kamu mulai deketin Mama sebagaimana laki-laki ke perempuan."

Cerita yang tidak pernah Renjana duga akan ia dengar itu mengalir begitu saja. "Terus, Ma?"

"Karena Mama juga suka, ya jelas Mama terima. Awalnya Mama sering insecure karena Papa dari keluarga kaya. Tapi Papa kamu selalu bilang kalau dia masih makan nasi, bukan emas. Jadi Mama gak perlu khawatirin hal yang gak perlu. Dia bilang selama Mama disamping dia, gak akan ada satu pun orang yang bisa melukai Mama."

Renjana menggigit pipi bagian dalamnya.

"Dia ngajak Mama ke rumahnya setelah kami berhubungan selama enam bulan. Mama udah gak percaya diri pas liat rumahnya, dari situ aja Mama udah tau kalau kondisi kami beda banget. Sikap Nenek kamu, Ren, dia memang sinis sejak dulu, bukan sama kamu aja, sama Mama juga. Atau mungkin cuma sama kita." Suara Winda bergetar, "diawal pertemuan, hal yang dia tanyain itu adalah pekerjaan orang tua Mama. Dari pada bohong, Mama orang yang lebih suka terus terang. Nenek kamu marah sama Papa kamu pas Mama jawab Mama hanya anak seorang Petani. Dia langsung pergi dan banting pintu kamarnya."

"Terus karena cinta, Papa tetap milih Mama sampai kalian menikah?" Tebak Renjana.

Winda mengangguk. "Mama sempet nolak karena nggak yakin sama keluarganya, tapi akhirnya Mama tetap nerima. Mau gimana lagi? Mama juga cinta banget sama Papa kamu. Mama juga tergiur sama bahagia yang dia janjikan."

Ya, sudah hukum alam bahwa laki-laki penuh dengan janji sedang perempuan penuh rasa percaya.

"Ren, kamu sekarang punya Jeffran, untuk seterusnya Mama berharap kalian baik-baik aja. Tapi kita gak ada yang tau kedepannya seperti apa, pesan Mama semoga kamu kuat menghadapi badai apa pun yang menerjang rumah tangga kalian, jangan gagal seperti Mama dan Papa kamu ini. Mama juga mau bilang kalau kamu butuh apa pun, kamu selalu punya Mama. Inget itu baik-baik, ya, sayang."

Mata Renjana mendadak basah, ia jadi teringat dengan kejadian ketika dirinya mendapati Jeffran bersama perempuan lain. Apa ia harus berpikir positif untuk hal itu? Ah, ia memang harus percaya pada Jeffran, 'kan? Biar bagaimana pun hubungan mereka sekarang sudah ada kemajuan.

Sebuah usapan lembut di punggung tangan membuat Renjana tersentak, ia menatap ibunya yang mencium tangannya. "Ma...." Tegurnya.

"Maafin Mama karena gak bisa nemenin masa kecil kamu, ya. Mama egois banget biarin kamu kesepian sejak kecil. Mama memang bukan ibu yang baik, 'kan? Mama juga sering marahin kamu waktu kecil. Maafin Mama yang ga bisa mewarnai dunia putri kecil Mama ini."

SELAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang