Terima kasih untuk apresiasi kalian, saya merasa tersanjung dengan apa yang kalian lakukan. Semoga kedepannya saya juga bisa terus berkarya seperti ini.
Tapi kalau boleh jujur, saya sangat senang membaca komentar positif kalian. Kata-kata penyemangat dari kalian. Dan umpatan kesal kalian pada satu tokoh dalam cerita ini.
Sebenarnya saya ingin segera merampungkan cerita ini karena saya memiliki book kedua yang siap dipublikasikan. Tapi saya tidak mau perhatian kalian terbagi. Jadi, mari kita nikmati alur cerita ini dulu saja. Tunaikan kewajiban kalian sebagai pembaca, maka akan saya berikan karya terbaik yang saya bisa. Kalian juga bisa menagih kalau saya terlalu lama pergi.
***
Ketika hangat mentari menembus kaca bening dan menyorot daksa yang masih meringkuk di atas ranjang mulai mengganggu sang empu, kelompak mata yang tampak lebih besar itu mulai menampilkan kelereng coklat sejernih jelaga. Kesadaran menariknya secara perlahan dari alam mimpi. Kepalanya sedikit pening.
Pelan-pelan Renjana menuruni ranjangnya, berjalan ke adah balkon untuk membuka sliding door. Mengamati kegiatan pekerja di keluarga Nandito pada hari kedua setelah memasuki tahun dua ribu dua puluh tiga.
Mengapa orang-orang tampak biasa saja? Mengapa mereka tersenyum begitu lebar? Apakah mereka tidak tahu bahwa Renjana di sini masih berduka? Ah, mereka tidak kehilangan siapa pun, hanya seorang nyonya yang tidak terlalu akrab hingga kehilangannya pun tidak memberi dampak besar bagi mereka.
Di sini hanya Renjana yang masih berduka. Hanya Renjana yang merasakan dampak besar kepergian Winda. Mereka tidak perlu turut bersedih, 'kan? Memangnya siapa Winda bagi mereka? Winda bukan sosok yang berharga bagi orang-orang, kecuali Renjana. Dan mungkin karyawan Winda yang mengenalnya dengan baik. Tapi apakah ada satu saja orang yang menyayangi ibunya selain dirinya?
Tepukan halus di bahu ringkihnya membuat Renjana terkesiap, dari aroma ini Renjana tahu siapa pelakunya. Tidak lama kemudian tubuhnya dipaksa berbalik dengan gerakan lembut.
"Aku pikir kamu masih tidur. Aku dari bawah, ambil sarapan buat kamu." Jeffran menyelipkan anak rambut Renjana ke belakang telinga.
"Kenapa?" Renjana menatap sendu.
"Aku pikir kamu di bawah pun akan sarapan sendiri, jadi aku bawa makanannya kemari. Aku temenin kamu makan, ya?"
Renjana menarik nafas panjang, menggenggam tangan Jeffran yang kini menangkup wajahnya. "Makasih."
"Aku tau kata maaf dan terima kasih adalah basic yang harus dimiliki setiap orang. Tapi kamu gak perlu ngucapin itu ke aku."
"Okay," lirih Renjana. "Kamu gak kerja?"
Jeffran terkekeh. "Ini masih hari libur, tapi sebenernya aku ada janji hari ini sama klien dari Jepang. Jangan khawatir, Papa bisa handle itu."
Renjana menggigit bibir bawahnya, "aku udah gak apa-apa, kalo kamu pergi, pergi aja. Aku jadi gak enak sama Papa."
"Hey!" Jeffran mengecup kening Renjana secepat kilat, "justru Papa yang nyuruh aku buat menemin kamu, Mama sama Papa khawatir banget." Jeffran tidak bohong, Kirana tiga kali menelepon untuk menanyakan kondisi Renjana. Pertama pada jam sepuluh, kedua pada jam satu pagi dan ketiga pada jam tiga subuh.
Renjana hendak membalas, namun perutnya mendadak terasa nyeri. Ia bahkan tidak sadar telah mencengkeram tangan Jeffran.
"Ren, sayang, kenapa? Kamu kenapa?" Jeffran duduk di lantai dan membawa Renjana ke atas pangkuannya. Tangannya ikut mengusap apa yang Renjana pegang, turut mengusapnya pelan walaupun ia tidak tahu dari mana sumber rasa sakit Renjana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELAKSA
RomanceTERSEDIA VERSI E-BOOK (PDF) Copyright©️2021 by: Veloveny ⚠️ DILARANG PLAGIAT DALAM BENTUK APA PUN! Meski tingkahnya centil dan gaya berbusananya selalu menginspirasi banyak orang, Renjana bukan gadis yang mudah jatuh cinta. Terima kasih pada Hera ya...