Bab 12. Bertemu Kembali

1.3K 160 27
                                    

Seperti biasa, tinggalkan jejak kalian.

***

"Ren, uangnya udah kumpul semua, nih. Lo jadi 'kan ngatur vila sama jatah makan?" Tanya Juwita.

Mereka saat ini tengah berada di kelas, setelah jam kuliah berakhir keduanya memang memutuskan untuk mematangkan rencana makrab. Sekadar informasi, hari ini adalah hari terakhir UAS, jadi waktu mereka sudah mepet.

"Jadi, kok. Gue sempet browsing juga. Senin kayaknya kita ke sana dulu kali, ya? Buat liat-liat dulu." Jawab Renjana.

Juwita mengangguk setuju, "boleh, kalo bisa sih harganya tawar dikit, lumayan buat beli jasuke."

Renjana terbahak, "nanti gampang lah itu mah, katanya tempat vila kita juga enak sih, banyak tukang jajan di pinggir jalannya."

"Widih, gak sabar gue, tapi pasti dingin banget, ya, di Puncak? Jakarta aja ujan mulu."

"Ya wajar, sih, masih awal tahun juga. Mudah-mudahan aja lancar, ya. Gak ada kendala."

"Semoga. Emangnya kita kapan ke sana? Liat-liat dulu, 'kan? Atau lo aja?" Tanya Juwita.

"Jangan gue deh, perwakilan aja. Lagi gak enak badan mulu nih. Adit sama Rizky aja yang ke sana. Nanti gue shareloc alamatnya." Ungkap Renjana.

Juwita mengerutkan kening, "lo sakit? Yah masa lo sakit, sih? Ga asik banget. Awas aja sampe lo gak ikut."

Renjana menggeleng, "acaranya mah pasti ikut, lah. Dua hari juga baikan kok. Mau flu sih kayaknya gue."

"Oh, get well soon, Ren. Gue duluan, ya? Udah ditungguin sama doi." Juwita menunjuk handphone-nya untuk meyakinkan Renjana.

"Yang kating itu bukan?" Goda Renjana.

Juwita terkekeh, "iya. Anak Teknik."

"Widih, ya udah, hati-hati. Traktiran jangan lupa."

"Ah elo!"

***

Renjana memang memutuskan untuk masuk kuliah setelah tiga hari membolos. Tiga hari cukup baginya untuk menetralisir rasa sedih. Lagi pula hidup harus terus berjalan meski duniamu hancur. Jadi Renjana ingin menata ulang hidupnya.

Benar-benar menata ulang dalam artian yang sebenarnya. Kekacauan yang bertubi-tubi itu membuatnya sadar bahwa selama ini tidak ada yang menganggapnya sepenting itu, ia terlalu naif, menganggap semua yang ia miliki saat ini adalah hasil upayanya sendiri. Padahal ia hanya sedang dibodohi. Padahal jika dipikirkan ulang, ayahnya sendiri saja tidak secinta itu padanya, jadi mengapa orang asing seperti Jeffran harus menyayanginya? Mengapa ia harus sedalam itu mencintai laki-laki? Apa hatinya hanya mendamba sosok ayah yang tidak ia temukan dalam diri Yuda Nandito? Tidak. Ia mencintai Jeffran setulus itu. Tanpa alasan. Semua orang tahu itu.

Ketika melewati taman kampus untuk mengambil motor scoopy kesayanganya, Renjana kembali merasakan sesak melihat Hera, Celine dan Yasmin mengobrol seru bersama Tari. Renjana tahu ini tidak adil, tapi melihat mereka tetap berhubungan baik rasanya ia menjadi kerdil. Apa mereka tidak tahu kelakuan Tari yang sebenarnya?

Awalnya Renjana berniat untuk tidak menyapa, tapi sepertinya Hera menyadari eksistensi dirinya.

"Ren, sini!"

Renjana terdiam sebentar, kemudian menggeleng. "Gue buru-buru."

Hera berlari menghampiri Renjana dan menuntun sahabatnya itu, Tari yang ditatap sinis Renjana menjadi salah tingkah. "Kita mau bahas info lanjutan makrab, lo gimana, sih? Masa gak ngasih perkembangan info lagi? Kita belum bayar, loh, ini." Hera menarik Renjana untuk duduk lesehan di bawah pohon mangga bersama mereka.

SELAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang