Mari tunjukkan diri kalian, saya mau tau pembaca saya yang mana saja.
***
Pernahkah kalian merasa mati dalam keadaan bernafas? Sebuah keadaan pada saat di mana kenyataan memilukan menghantam diri dengan sedemikian kejam. Tidak menunggu celah untukmu sembuh dari luka yang ada. Seperti domino yang langsung meluluh lantakkan segalanya. Jatuh berkali-kali untuk ke sekian lainya.
Renjana merasakannya. Saat ini. Jiwanya seperti melayang jauh meninggalkan raga. Anehnya jatungnya masih berdetak. Mengapa Tuhan tidak turut memeluknya saja dalam dekapan bersama Ibunya yang terbujur kaku di sana? Menyesakkan rasanya saat kau tahu satu-satunya orang yang peduli padamu kini telah pergi.
Beberapa kali wanita rapuh itu kehilangan kesadaran, bahkan ketika mayat ibunya akan dimakamkan ia tak juga mendapati rasa ikhlas. Ikhlas itu bohong, semua orang yang kehilangan hanya pura-pura untuk terlihat baik-baik saja. Tapi Renjana tidak bisa seperti itu. Ia kehilangan rumah satu-satunya untuk kembali.
Sementara di sisi lain ada Jeffran yang siap berdiri di sisi Renjana. Menjadikan bahunya sebagai tempat air mata Renjana bermuara. Memeluknya saat istrinya itu menangis histeris, meraung tidak terima dengan apa yang terjadi.
Jeffran tahu kehilangan itu menyakitkan, tapi ia baru tahu bahwa Renjana bisa mengekspresikan rasa sakit. Yang ia tahu, istrinya itu pandai menyembunyikan luka hatinya, tidak peduli sebesar apa pun itu. Apa kepergian sang ibu juga merenggut separuh jiwa Renjana? Mengapa dia tidak melihat bahwa di sini, di sampingnya, Jeffran selalu membisikkan kata "ada aku di sini, kamu masih punya aku". Kata itu tidak memiliki makna apa pun bagi Renjana.
Di tempat yang sama, ada Yuda yang tidak kunjung menitikkan air mata. Namun hatinya penuh oleh rasa sesak yang luar biasa. Ia terlalu bingung untuk mengekspresikan rasa sakit. Ini terlalu tiba-tiba. Berulang kali ia menepis kenyataan, berharap ini hanya mimpi belaka. Ia hanya berkata dalam hati tentang rasa ikhlas. "Kamu hukum aku terlalu kejam."
Sebagai menantu dan satu-satunya lelaki selain Yuda di sana, Jeffran harus meninggalkan Renjana yang belum sadarkan diri di kamar karena ia harus menyalami para tamu yang datang hanya untuk mengucapkan belasungkawa. Tentu saja ia meninggalkan Renjana bersama Hera dan Celine yang datang bahkan sebelum mayat sampai di kediaman Yuda.
Pemakaman dilakukan secara tertutup, tidak ada media yang meliput. Hanya kerabat dekat yang dapat hadir secara langsung untuk melihat prosesi. Karangan bunga duka cita memenuhi halaman depan rumah. Langit pun tampak mendung mengingat hari ini adalah awal tahun. Tepat 1 januari.
***
"Ra...."
"Minum dulu." Hera membantu Renjana duduk, sementara Celine memberikan air minum.
Wajah Renjana sudah tidak dikatakan manusiawi, seperti mayat hidup. Hera tidak bisa mendeskripsikan rasa sakit yang dialami Renjana, karena sebagai sahabat, ia juga merasakan duka itu.
Celine sejak tadi hanya diam, menatap iba Renjana. Sesekali melirik Hera. Dua gadis itu tidak mengerti bagaimana caranya memberitahu Renjana perihal Jeffran dan Tari. Mereka hanya tidak ingin menambah duka. Bukankah terlalu kejam jika mereka mengatakannya sekarang? Lalu membayangkan reaksi Renjana, Celine bergidik ngeri. Ia tidak akan sanggup.
"Mama gue, Ra... Mama gue...." Tangis Renjana kembali memenuhi ruangan.
Hera memeluk Renjana, bersama Celine yang mengusap bahu sahabatnya itu. Tangi Renjana yang terlalu pilu rupanya menular. Mereka jadi tidak bisa membisikkan kata-kata penenang sebagai obat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELAKSA
Любовные романыTERSEDIA VERSI E-BOOK (PDF) Copyright©️2021 by: Veloveny ⚠️ DILARANG PLAGIAT DALAM BENTUK APA PUN! Meski tingkahnya centil dan gaya berbusananya selalu menginspirasi banyak orang, Renjana bukan gadis yang mudah jatuh cinta. Terima kasih pada Hera ya...