#1 Negeri Perut Tersenyum

43 7 5
                                    

Kuperingatkan. Cerita yang akan kau baca ini nyata adanya.

Telah genap sepuluh hari aku melakukan tapa di bantaran Sungai Pondoh. Tapa yang sebenar-benarnya tapa, tak diusik orang lain di dalam dunia yang diciptakan seolah-olah untuk diriku sendiri. Aku berkomunikasi dengan diriku, dengan panasnya aku, dinginnya aku, kepalanya aku, menjadi aku. Setelah tapa itu aku mendapat ilmu badan ringan serta kaki yang siap melangkah ke tujuh benua dan tujuh samudra.

Pada perjalanan pertama aku sampai di Negeri Perut Tersenyum. Di sini, orang-orang memiliki dua mulut, di wajah dan perut mereka. Negeri mereka sangat subur sehingga ketika makan tidak hanya kepala tetapi perut mereka pun gembira. Konon, dalam 100 tahun belakangan tidak ada orang yang perutnya tidak tersenyum saat tidur di negeri ini, termasuk para pendatang. Saking suburnya, mereka mendirikan puluhan rumah untuk menampung hasil pertaniannya sendiri. Rumah yang tidak diisi oleh manusia, melainkan berkarung-karung beras warna merah, putih, ungu, warna-warni.

Saat pertama datang ke negeri ini aku disambut oleh jembatan yang bisa bernyanyi. Jika kuinjakkan kaki kanan padanya maka dia akan berdendang "doremi" dan saat berganti kaki maka dia membalas "fasola". Anak-anak di negeri itu senang sekali mendengar si jembatan bernyanyi. Mereka bergoyang-goyang di atas badannya sambil memanjat-manjat lengannya yang kurus. Meskipun sudah tua, mendapat perlakuan demikian si jembatan suaranya makin nyaring terlebih semakin kau sampai di tengah badannya.

Sepanjang jalan aku menemui orang-orang pekerja keras yang punya motor di kakinya dan membawa golok serba guna. Tangan mereka sudah terlalu lama memegang golok sehingga lama kelamaan tangan mereka menumbuhkan golok sendiri dan lengannya menjadi gagang golok. Dari golok itu lahir macam-macam alat dan benda. Rasa-rasanya, anak-anak pun lebih mahir memainkan golok ketimbang pena dan kertas. Perubahan lain juga timbul pada kaki orang-orang perut tersenyum. Mereka memiliki motor di kaki masing-masing. Dengan motor itu, mereka bisa mendaki gunung lebih cepat dari orang-orang kebanyakan. Jika aku yang memiliki ilmu badan ringan masih membutuhkan waktu dua jam jalan kaki untuk sampai di Negeri Perut Tersenyum, maka perjalanan yang sama bisa penduduk lakukan dalam waktu 30 menit saja, itu pun dengan membawa beban kayu bakar yang berat (yang aku dulunya kira mereka pakai sebagai bahan bakar di kakinya, ternyata bukan.)

Tidak kalah dengan penduduk tuanya, anak-anak di Negeri Perut Tersenyum juga tidak kalah luar biasanya. Mereka adalah perenang yang andal, pemanjat yang cakap, serta pemain yang hebat. Sekolah tempat mereka belajar pun memiliki mesin teleportasi yang letaknya ada di bawah meja guru di depan kelas. Mesin itu hanya menurut kepada anak-anak, ketika mereka masuk ke kolong meja, Zapp! Seketika anak-anak akan menghilang dari ruang kelas.

Kaki dan mata mereka juga sangat terlatih. Saking tajamnya mata mereka bisa jeli melihat benda-benda yang ukurannya sangat kecil. Mereka bisa mengelilingi satu petak sawah hanya dalam hitungan detik. Mencari tutu, mereka jagonya. cukup sawah itu diperhatikan sejenak, lalu tangan mereka sigap menyambar batang padi yang sudah kering, lalu diangkatlah keong kecil itu dengan riang.

Untuk mengimbangi anak-anak yang luar biasa, tentu guru-guru yang mengajarnya pun harus apik. Konon, guru di negeri ini bisa bekerja dalam tidur dan tidur sambil bekerja. Mereka pun masih sempat membaca ketika sedang berdiri. Mereka bangun lebih pagi dari ayam di negerinya. Tiga guru itu punya kehebatan masing-masing. Salah satu guru bisa menaklukkan lapar dengan suara tawanya. Ada juga dia yang memiliki suara yang begitu tipis sehingga gendang telinga tidak sempat bergetar dan suara itu langsung masuk ke hati anak-anak. Yang lain, jago sekali meniru perbuatan, padahal dia sering bilang di kehidupan sebelumnya dia belum pernah melakukan apa-apa.

Sebelum pulang, aku diajari ilmu mengendap-endap oleh abah tempatku bernaung di sana. Abah, memiliki langkah yang tidak terdengar. Pagi-pagi dia sudah pergi dan baru pulang lagi malam hari. Setiap kembali ke rumah abah selalu membuat kami kaget, dan dia akan tersenyum. Senyum kemenangan karena bisa pulang dan kembali tanpa terdeteksi oleh kami.

Sementara emak, suaranya lembut sekali. Aku bisa tahan mengobrol dengannya berjam-jam tanpa henti. Tiap aku mengobrol, dia mentransfer setiap ilmu dan pengalamannya kepadaku, sehingga aku merasa usiaku bertambah lima tahun tiap bicara dengannya. Mata emak yang lelah kerap merem melek ketika melihat wajah orang lain, kelelahan itu diakibatkan pertarungannya yang panjang dengan hidup. Melihat itu, kuberikan saja kacamata yang katanya bisa membuatmu terkenal di media sosial. Cuma sayang emak tidak punya media sosial. Tapi, dia jadi bisa melihat senyuman orang dengan jelas sekarang. Dia pun tersenyum saat pertama kali melihat wajahku dengan jelas melalui kacamataku. Senyum yang tidak akan pernah aku lupa.

Kunjunganku di Negeri Perut Tersenyum sangatlah singkat. Namun rasa-rasanya, sekarang tiap makan perutku pun jadi ikut tersenyum. Penduduk di negeri itu diberkahi oleh senyuman dari bahan makanan, sehingga makanan yang mereka masak selalu menggugah selera. Namun mereka masih sempat berendah hati dan bilang "Ini cuma makanan negeri kecil, ditampik saja ya."

Aku dan rekanku meninggalkan kampung pagi-pagi buta saat gunung masih menutup matanya. Langkah kami saat itu luput dari mata anak-anak luar biasa. Burung-burung masih belum terbang, sungai belum lagi berisik, dan matahari juga masih enggan untuk naik ke cakrawala.

Konon, mereka yang meninggalkan Negeri Perut Tersenyum hanya bisa kembali ke sana tiap satu tahun sekali. Jika ada pendatang yang kembali ke sana, seketika gunung-gunung akan ramai menyambut kedatangannya. Ayam-ayam akan disembelih, padi-padi akan menguning, dan orang-orang di negeri akan sibuk menyiapkan sambutan untuk petualan yang kembali. Sampai saat ini, belum ada yang bisa menjawab tantangan tersebut.

Aku pun yakin suatu hari nanti, senyum di perutku bisa lebar kembali.

Catatan Sebelum Pindah ke Kampung SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang