9|| Jangan

101 26 3
                                    

。◕‿◕。

BRAKK!!

Mata Jena melotot sempurna, demi tuhan dia ingin menangis sekarang tapi dia ingat jika Mahesa melarangnya untuk menangis.

"M-mahes, udah.." lirih Jena

Tapi bukannya berhenti, pemuda tersebut malah makin menjadi-jadi. Mahesa malah kembali meninju lawannya dengan keras.

Amarah dan kesal bercampur satu dalam diri pemuda tersebut, melihat temannya hampir dilecehkan oleh temannya sendiri.

Sungguh, Mahesa ingin membunuh temannya itu.

Sementara temannya sendiri pun sudah terkapar lemas karena tak kuat melawan Mahesa, seluruh badannya seakan remuk dan sangat sakit.

"MAHESA UDAH!" Pekik Jena

Air mata benar-benar mengalir diwajah gadis itu, membasahi pipi lucunya dan bibirnya yang bergetar.

"Udah.. ayo pulang," ucap Jena.

Mahesa hanya menurut lalu melempar badan temannya dengan keras ke tanah, menatapnya datar dan sama sekali tak merasa bersalah setelah membuat keadaan temannya menjadi mengenaskan seperti itu.

Mahesa menggenggam tangan Jena dan segera pergi dari gang sempit tersebut.

Jena yang masih menangis dan dirinya yang juga masih dikuasai oleh amarah, mereka berdua hanya terdiam.

.

"Jangan nangis," cetus Mahesa.

Jena menarik napas dalam-dalam, masih tidak bisa mengendalikan tangisannya sendiri.

Mereka sekarang ada diapartemen Jena, gadis itu yang meminta untuk pergi kesana saja.

"Jangan berantem lagi," ucap Jena dengan tangannya yang masih sibuk mengobati luka di wajah Mahesa.

"Gak bisa, gue gak terima kalo dia ngelecehin lo gitu aja." Ucap Mahesa, masih dengan nada bicaranya yang datar.

Dengan tak teganya, Jena dengan sengaja menekan luka Mahesa membuat si empu meringis sakit.

"Apasih?!" 

Gadis itu hanya mendengus, dan kembali melanjutkan kegiatannya.

"Gue gak suka ya liat ada cowok yang nyakitin atau sampe ngelecehin lo kayak tadi," ucap Mahesa.

Jena hanya terdiam, tidak berniat membalas perkataan Mahesa karena memang tidak ada kata-kata yang harus gadis itu ucapkan.

"Gue juga gak suka liat lo jalan sama cowok lain," 

Jena berdecih, "jangan kayak gitu deh Sa. Lo cuma sahabat gue, dan gak akan pernah lebih."

Gadis itu membereskan peralatan obatnya, sementara Mahesa hanya terdiam merasa tertohok dengan ucapan Jena.

Memang kalau sahabat tidak boleh jatuh cinta?

"Tiduran sana dikamar, gue mau masak." Mahesa hanya menurut, tak ada niatan untuk melawan juga.

Jena sebenarnya masih kepikiran dengan ucapan Mahesa tadi, namun gadis itu sedari kecil sudah memberi patokan pada dirinya sendiri untuk tidak pernah sekalipun suka atau mencintai salah satu sahabatnya.

"Enggak, pokoknya enggak."

.

.

Anna menatap aneh kedua lelaki yang sekarang ada didepannya ini.

Gadis itu sekarang tengah berada di Kafe berada Satya, Azka, dan Seina. Hanya hangout sebentar dengan sedikit paksaan dari Satya.

Karena demi tuhan, niatnya tadi Azka ingin mengajak Anna pulang bersama namun sialnya Satya malah juga ikut menawarkan tumpangan pada Anna.

Berakhir Azka dan Satya cekcok sedikit, dan dengan segala kekesalannya Seina menawarkan untuk hangout bersama di Kafe. 

Mereka berangkat dengan Azka yang membonceng Anna dan Satya yang pastinya membonceng Seina.

"Kalian kemusuhan banget kayaknya sama satu lain, kenapa sih?" Tanya Anna

"Gak kenapa-napa," ucap mereka bersamaan.

Anna hanya ber'oh'ria, lalu menoleh ke arah Seina yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Kamu kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?" Tanya Anna

Seina yang sedang asik sendiri teralihkan oleh Anna, "hah? Senyum? Aku? Enggak, aku gak senyum." 

"Tapi tadi kamu senyum-senyum walau cuma keliatan sedikit doang, liatin apa sih?"

Seina menunjukkan layar ponselnya pada Anna, seketika raut wajah Anna menjadi agak mengesalkan bagi Seina.

"Cie, yang abis dapet pap dari Kevin." Goda Anna

Seina berdecak, "apaan sih."

Satya menyipitkan matanya tak suka, sementara Azka hanya terdiam dengan matanya yang sibuk menelisik Seina dengan rasa curiga.

"Kamu serius gak ada niatan pacaran?" Seina menggeleng

Anna seketika cemberut, "padahal aku pengen comblangin sama Kevin."

"Dih! Apaan sih, Na! Aneh-aneh aja deh," kesal Seina.

Si empu terkikik, "lucu tau kalo misalnya kamu jadian sama Kevin. Apalagi Kevin kan anaknya soft banget sama perhatian, idaman banget kan."

"Hell, ya aku akuin kalo dia soft dan perhatian tapi bukan berarti aku bisa suka sama dia. Gak ada cinta diantara sahabat."

Anna terdiam, seharusnya dia ingat bahwa sahabatnya ini masih memiliki patokan yang sama seperti Jena.

"Sama kayak kamu sama dia," lanjut Seina sambil melirik ke arah Satya.

Azka mengerutkan keningnya, kenapa Seina melirik ke arah Satya? Sepertinya ada banyak rahasia tentang Satya dan Anna yang harus dia cari tahu.

Satya sendiri sudah mengerti kemana arah pembicaraan ini, pemuda itu dengan segera mengalihkan topik.

"Btw udah mau maghrib, pulang kuy." Ajak Satya

"Anna, ayo." Ajak Azka

"Eitt apa-apaan lo? Anna sama gue," protes Satya.

"Tapi kan tadi Anna berangkatnya bareng gue, berarti dia pulangnya juga sama gue lah." 

"Enggak, pokoknya enggak. Anna sama gue!" Cetus Satya

"Kalo kalian maunya sama Anna, gue sama siapa?" Tanya Seina

Azka dan Satya terdiam, bahkan Anna yang tadinya ingin buka suara langsung mengatupkan mulutnya.

Seina menghela nafas, "yaudah lah gue pesen ojol aja."

"Eh jangan! Kamu sama Satya aja!" Seru Anna

"Hah?" 

"Kok sama gue sih, Na?" Protes Satya

"Ck, kasian temen gue. Kalo misalnya abang ojolnya jahat terus ngapa-ngapain Seina gimana?"

"Ya tapi kan

"Udah ya, gue sama Azka duluan. Awas aja lo Satya, jagain temen gue baik-baik."

Anna segera menarik tangan Azka dan segera pergi dari Kafe, jujur sebenarnya hatinya agak tak terima jika Seina harus pulang bersama Satya tapi daripada dia harus terjebak situasi canggung dengan Satya lebih baik dia pulang bersama Azka.

Seina mengangkat sebelah alisnya, "so? Mau nganterin gue pulang gak?"

Satya menghela nafas lalu memaksakan diri untuk tersenyum, "mari tuan putri."

Seina mengibaskan rambutnya sombong, "ayo babu."

(◡ ω ◡)

Choice of You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang