Mojang Bandung Nan Cantik Molek

1.2K 69 2
                                    

Siang yang cerah bersama dengan semburat arunika menerpa, gadis cantik nan molek itu masih menyisir jalan setapak sebuah hutan tempatnya tinggal. Srikandi harus melewati sekitar 2 kilometer untuk dapat sampai di perbatasan antara hutan dan jalan lintas.

Sesampainya di depan trotoar, Sri mendudukkan badan di sebuah halte dan meletakkan koper hitamnya. Sementara bulir bening yang keluar sejurus melalui lekuk pipi dan lehernya pun mewarnai langkah itu mulai limbung dan gontai.

Tepat di depan jalan lintas dengan banyaknya bus dan taksi yang lalu lalang, ia kembali merogoh tas seraya mengambil sebotol air mineral. Sepanjang ia hidup di bumi semesta, tak pernah terbayangkan kalau hidup yang dijalani semakin lama semakin menyakitkan.

Bagai air di atas daun talas, tak mampu menetap dan dengan segera menghindar kemudian jatuh ke tanah. Murka semesta sepertinya tak sampai di situ, pikiran berkecamuk seraya membuka potret kilas balik peristiwa pahit yang selalu terputar dalam otaknya.

'Gusti, kalau ini adalah jalan terbaik untuk menuju rida-Mu, permudahlah hamba. Apabila ada kesalahan yang saya sengaja atau tak disengaja lewat tingkah laku Sri pada orang tua, ampunilah dosa-dosa Sri. Sungguh engkau pemilik bumi dan langit yang mampu membawa perdamaian lewat hati, cinta, dan perasaan setiap umat. Amin ....'

Selesai bermonolog dalam batin, tiba-tiba sebuah bus berukuran lumayan panjang berhenti tepat di pinggir halte. Kernet yang saat itu memakai topi mendatangi Sri seraya berdiri tegap, akan tetapi pandangan pemuda berperawakan lembut itu masih sibuk menatap uang kertas yang ia pegang.

"Mau pergi ke mana, Dek?" tanyanya, ia pun menoleh sekilas sebelum kembali menatap uang itu lagi.

"Saya mau pergi ke desa Merapi, Mas. Apakah bisa mengantar saya sampai tempat tujuan," jawab Sri seraya menarik-narik koper hitamnya di samping kiri.

"Waduh, Dek. Sepertinya jalan lintas bus ini enggak bisa sampai lokasi, karena kampung itu masuk melalui gang kecil." Pemuda mengenakan topi merah di hadapan Sri menatap penuh.

"Bagaimana, ya, Mas," titah Sri lagi.

"Bagaimana kalau ongkos perjalanan kami kurangi dari harga normal, karena memang akses bus ini tidak bisa mengantar ke kampung itu," paparnya sambil menaruh uang lembaran di dalam kantong kiri baju kemaja cokelat yang ia pakai.

"Baiklah, Mas. Enggak apa-apa," titah Sri yang sedari tadi memekik karena tak kunjung mendapatkan bus.

Akhirnya, ia ikut bersama pemuda yang berprofesi sebagai kernet bus. Bangku yang ia dapat juga paling belakang, karena telah dipenuhi dengan penumpang ketika itu lebih dulu menaiki bus antar kota.

Di sepanjang perjalanan, Sri hanya menatap lirih menuju samping kiri. Tempat yang biasa ia tinggali kini harus terpisah karena peristiwa, bagaimana rasanya berdamai dengan waktu? Bagai berada di musim semi dengan udara tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.

Kepergian Sri merupakan pilihan, bukan dari paksaan, walau terkadang tumbuh penyesalan dalam benak. Mengapa sang ayah menikah lagi dengan wanita pongah yang setiap hari hanya mengatur dan tidak pernah merasa cukup dalam membagi uang, selalu saja kurang dan ayah menjadi imbasnya.

Tanpa menarik ulur lagi kesempatan selagi masih bisa bernapas, mungkin keputusan kali ini adalah jalan awal menuju kebahagiaan. Sesungguhnya Gusti Allah selalu bersama dengan hambanya yang mau merela, walau dengan cara yang menyakitkan.

Semua pasti ada balasannya, walau tidak serta merta dapat terjadi secara spontanitas. Orang yang memiliki sikap pongah dan selalu merasa menang, suatu saat akan kalah karena ucapannya sendiri.

Di atas bangku tempel, Sri meratap seputar kilas balik kehidupannya. Air mata menetes sejurus menuju lekuk pipi sampai membasahi tubuh yang telah bercampur aduk dengan keringat, bau badan pun keluar ditambah dengan semburat arunika menempus kaca transparan bus antar kota.

DENDAM TUJUH SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang