Semburat Senja di Desa Merapi

1K 62 0
                                    

Warna-warni panorama semburat kecokelatan senja mengambil alih kecantikan sekitar desa yang konon memiliki julukan Daerah Berdarah. Entah apa maksudnya, yang pasti kedatangan mojang Bandung berusia 21 tahun bernama Srikandi bukan untuk mengganggu gugat perihal apa pun, ia hanya ingin menuntut ilmu.

Srikandi hanya mencari pengetahuan untuk bisa mencapai cita-citanya menjadi seorang penari Ronggeng budaya Jawa. Namun, kepergiannya dari rumah tidak mendapat restu dari ibu tirinya, ia tetap bersikeras demi cita-cita itu.

Semua dia lakukan sesuai mimpinya bertemu seorang ratu yang mengenakan busana serba hijau. Tergantung Gusti Allah yang akan membawa perjalanan gadis bertubuh mungil itu seperti apa ke depannya, dengan keberanian dan tekad ia merantau ke kampung seberang. Sebelumnya, Sri mendapatkan sebuah wasiat dalam mimpi, kalau ia akan menjadi orang yang dikagumi oleh seluruh pasang mata.

Meski sebagian orang percaya kalau mimpi itu adalah bunga tidur semata, tetapi tidak dengannya. Dikarenakan kepergian itu bukan hanya karena ingin belajar menari saja, melainkan untuk menjauhi lingkungan hidup bersama ibu tirinya.

Bagaimana tidak, ia hampir setiap hari mendapatkan perlakuan kasar layaknya hewan. Bahkan sejak pernikahan kedua sang ayah terjadi, hidup Sri berubah total ketika ia masih hidup berdua dengan sang ayah.

Bukan untuk bermusuhan pada ibu tiri, Sri tidak ingin membuat perkara itu terus membelenggu pikirannya dengan benang merah yang melilit. Ketika kesabaran manuisa telah habis, semua peristiwa tak diinginkan akan mudah terjadi. Ia tak mau melakukan itu.

Senja membawa langkah Srikandi menapak di bumi semesta, tepatnya pada Desa Merapi yang ditempuh satu harian jika mengendarai bus dari rumahnya. Karena perjalanan itu membutuhkan sekitar dua kilometer lagi dari pusat berhentinya angkutan umum, Sri pun harus melintas di jalan setapak Desa tersebut.

"Dek, kamu sudah sampai," ucap kernet berkumis tipis di Sri.

Mendengar ucapan itu, mojang berselendang merah yang melingkar di lehernya pun bangkit dari kursi tempel.

"Mas, saya boleh bertanya," respons Sri seraya mendongakkan kepala, karena tubuh yang ia miliki tidaklah setinggi pemuda itu.

"Mau tanya apa, Dek? Silakan saja," titah pemuda tampan di hadapan Sri seraya mengedarkan senyum semringah.

"Apakah benar, jarak dari halte menuju ke Desa Merapi hampir—sekitar dua kilo lagi?" tanyanya sambil menatap ke arah luar kaca jendela bus.

Seketika pemuda yang berprofesi sebagai kernet pun terdiam, pertanyaan Sri seakan sukar untuk dijelaskan. Pasalnya, ia hanya menebak saja kalau menuju ke sana memakan sekitar dua kilo lagi. Namun, untuk menguatkan gadis mungil di hadapannya, ia harus mengangguk sebagai perwakilan pertanyaan.

"Sekitar dua atau tiga kilo, Dek. Tapi kamu enggak usah takut, penduduk kampung itu baik-baik, kok, orangnya. Karena saya sudah pernah ke sana." Pemuda berperawakan lelaki sejati di hadapan Sri membawakan koper dan mereka keluar bus dengan segera.

Sementara Srikandi mengikuti dari belakang, setelah turun dari bus, gadis berselendang merah dengan kulit sawo matang itu tertegun.

"Dek, kalau kamu ingin pulang, besok saya akan lewat ke arah sini lagi dan kamu bisa kembali ke kampung halaman. Jangan pikirkan soal ongkos, karena saya kasihan lihat kamu," ujar pemuda bermata sedikit sipit itu.

"Oh, ya, Mas. Nama kamu siapa, ya?" tanya Sri.

Pemuda bertopi merah dengan handuk kecil melingkar di leher menyodorkan tangan kanannya. "Nama saya Andrian Pujakesuma, panggil aja Puja. Biar lebih akrab."

Sri pun tidak membalas jabatan tangan kernet itu, karena tidak muhrim bagi lawan jenis yang belum menikah.

"Nama saya Srikandi, Mas. Terima kasih sebelumnya, karena Mas mau berbagi pada orang miskin seperti saya."

DENDAM TUJUH SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang