Srikandi Dwi Ayu Widyaningrum

3K 104 3
                                    

Prolog

Bismillahirrahmanirrahim

Asyhadu alla ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadarrosulullah
Bi'itsmin dzat dalima putih, Gumilang cahyaning suci ing wisesa
Patih sang Wulung Ya Kanjeng Ratu Sangyaning hajad dateng Nyai Roro Kidul
Rawung Ka'ajeng Gusti Wali Tunggal Laluhur Wayana Syech Kudratullah
Sumerep ing Genuruwah saking Laut Kidul Dupe Ciri wali purwa tanpa wekasan ing impenku
Tusta ustmaningal tutuping atur kersaning Allah ta'ala

"Srikandi, mendekatlah. Katakan pada saya, apa yang kau rasakan."

"Nyi Ratu, saya ingin kembali cantik seperti sediakala."

"Baiklah, atas izin ketujuh samudra dan laut pantai selatan saya akan mengabulkan keinginanmu."

"Benarkah, Ratu?"

"Ya, duduklah bersila dan sebut nama saya 99 kali. Maka, wajahmu akan kembali seperti semula."

Dengan mendudukkan tubuh di pinggir pantai parang tritis, seketika Srikandi menatap aliran air yang menderu lembut. Wajah yang tadinya terkena penyakit langkah dan menua sebelum waktunya, seketika menjadi sangat cantik.

Kulit yang sebelumnya sangat keriput, bersisik, bagai seseorang pemakai susuk kecantikan. Namun, ketika Srikandi menatap paluh permukaan air pantai Selatan, wajahnya berubah dengan pahatan sempurna di setiap sudut sisi.

Tiba-tiba ombak ganas samudra menerjang dari arah depan.

"Tidak ... astaghfirullah, aku cuma mimpi."

***
Kisah berawal ketika Srikandi Dwi Ayu Widyaningrum ingin meninggalkan kampung halaman dan pergi menuju sebuah desa terpencil, tepatnya di dekat lereng pegunungan merapi. Di sana adalah desa yang sangat misterius dan dipenuhi dengan rumor seputar budaya ketat, tak seperti keadaan di desa tempat ia dilahirkan.

Gadis berusia 21 tahun itu tertarik mengikuti tarian Jawa yang sangat khas, lekuk tubuhnya juga sangat memesona dan mampu memikat hati setiap pasang mata jika ia telah menari. Bakat yang terlahir sangat natural itu disadari ketika Srikandi duduk di bangku SMP, tepatnya di usia 13 tahun.

Seiring berjalannya waktu, ia sering sekali menonton pertunjukan penari lewat acara televisi. Kecintaannya pada musik gamelan dan seruling mampu membangkitkan minatnya untuk terjun langsung belajar menari dan terkenal suatu saat nanti.

Padahal, menurut dari garis keturunan, ia bukanlah terlahir dari kalangan seniman maupun pegiat seni. Akan tetapi, bakat itu hadir dengan sendirinya ketika ia pergi ke suatu pagelaran seni tari yang dipenuhi dengan para penonton.

Sejak saat itu, Srikandi ingin mempelajari ajian-ajian yang kini hampir tidak pernah terdengar lagi. Apalagi di era seperti saat sekarang ini. Setiap malam, gadis berusia 21 tahun itu mempraktikkan tarian yang ia olah sendiri.

Meski tanpa bimbingan dari siapa pun dan pergerakan itu hadir sesuka hatinya saja, akan tetapi dapat membentuk jiwanya masuk ke dalam seni tari Jawa tersebut.

Srikandi belajar menari di rumah dengan sembunyi-sembunyi, karena Sulastri yang merupakan ibu tirinya melarang ia untuk menari. Kata wanita paruh baya itu, hanya buang waktu dan tak berguna sama sekali.

Lebih baik Srikandi merantau keluar negeri untuk bekerja dan mencari uang yang banyak. Agar dapat mengangkat derajat keluarga dengan sangat cepat, bakat yang ia miliki tak luntur dengan berbagai cibiran ibu tirinya.

Tepat di pagi hari dengan hujan rintik-rintik, Srikandi ingin meninggalkan rumahnya dengan mengemasi semua pakaian dan menaruh—rapi di dalam sebuah koper berwarna hitam. Tanpa sisa untuk peninggal di dalam lemari, tekatnya sudah bulat kali ini.

DENDAM TUJUH SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang