Malam itu, tepat di Desa Merapi yang terletak di pinggir lereng pegunungan tempat para penari Ronggeng berada. Srikandi beserta wanita paruh baya itu sampai di sebuah pondok, tempat yang sederhana dengan teras minimalis terbuat dari kayu dan atap daun rumbia.
Pasalnya, wanita itu telah lama hidup sendirian dengan kedua anaknya yang berjenis kelamin perempuan. Belum sempat bertanya ke mana perginya sang suami, mereka sudah keburu sampai di rumah tepat arloji menunjukkan pukul 20.00 malam.
Awalnya, mojang berusia 21 tahun itu tampak sangat malu-malu untuk masuk, karena belum kenal dengan wanita yang membawanya secara rinci. Apalagi, ia juga tak mau merepotkan siapa pun. Sehingga Sri pun tarik ulur perihal tawaran wanita janda berhati mulia itu.
"Neng, ayo, masuk." Wanita berbandana merah sebagai ikat kepala di rambutnya mempersilakan.
"I-iya, Bu," repons Sri terbata-bata.
Sedari tadi mojang berselendang merah itu menatap rumah secara saksama, penampakan tersebut hampir mirip dengan rumah yang ia tinggalkan di kampung halaman. Karena sedari tadi Sri sudah memandang gorden lusuh di depan jendela tempatnya mendudukan badan, secara cepat ia bangkit dan masuk ke dalam rumah tersebut.
"Assalammualaikum ...," sapanya lembut seraya berdiri di tengah ruangan.
Tak disangka, ketika Sri memasuki ruangan pertama, ia tercengang dan bingung. Penampilan yang jauh berbeda dengan keadaan di luar, karena di ruang tamu terdapat benda-benda mahal dengan ukiran motif batik Jawa asli menghias sofa dan taplak mejanya.
"Neng, jangan bengong. Silakan duduk," timpal wanita beranak dua itu lagi.
Kesopanan Sri sangat membuat wanita paruh baya itu tampak sangat senang. Bagaimana tidak, ia mampu beradaptasi dengan cepat pada suasana yang baru saja ia singgahi di Desa Merapi.
Konon, menurut rumor yang pernah terdengar, kalau penduduk desa tersebut pemilik sikap pongah dan tak mau kenal orang baru. Nyatanya tidak pada Sri, wanita paruh baya beranak dua itu malah memperlakukan tamu tak dikenal dengan sangat lembut. Bahkan melebihi anak sendiri.
Selang beberapa menit meninggalkan Sri di kursi sofa, wanita paruh baya pemilik rumah pun datang lagi dari akses yang sepertinya ruang dapur. Ia membawa nampan berisikan sesuatu, tampaknya piring dan gelas.
Dengan perlahan, ia meletakkan nampan itu di atas meja seraya mengambil satu cangkir berwarna merah muda untuk anak sulungnya.
"Neng, ayo, makan camilannya. Jangan dilihatin terus, entar keburu dingin." Wanita paruh baya itu masih berkutat pada kedua anaknya yang sedari tadi sangat rewel.
"Iya, Bu," respons Sri. Setelah itu, ia mengambil satu potong ubi rebus dan memakan kudapan yang sudah jarang ia temui di rumahnya.
"Oh, ya, Neng. Nama kamu tadi siapa?" tanya wanita berbaju merah di hadapan.
"Srikandi, Bu. Oh, iya, nama Ibu siapa, ya?" Sri balik nanya. Namun, aksinya tetap mengunyah sepotong kudapan yang terasa sangat enak ketika dimakan.
"Nama saya, Sri Aminah. Panggil aja Bu Minah," timpal lawan bicara seraya cengengesan.
"Oh, ya, Ibu tinggal sendirian di rumah ini?" tanya Sri lagi.
Tampak dari depan, lawan bicara menarik napas panjang dan menelan ludah beberapa kali. Namun, ia menjeda untuk menjawab pertanyaan yang terlontar barusan.
"Iya, Neng. Saya tinggal sendiri sebelum peristiwa itu terjadi pada saya," jawab Aminah seakan menggantung ucapan itu.
"Peristiwa apa, Bu?" tambah Sri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM TUJUH SAMUDRA
ParanormalRank 1 Ronggeng [ 23 September 2021 ] Rank 1 Budaya [ 23 September 2021 ] Rank 1 Paranormal [ 24 September 2021 ] Rank 1 Movie [ 24 September 2021 ] Rank 4 Horror [ 30 September 2021 ] Rank 1 Budaya [ 13 Oktober 2021 ] Rank 1 Mantra [ 13 Oktober 202...