Berawal Dari Sebuah Mimpi

717 44 0
                                    

"Tidak ...," teriak Srikandi spontan.

Secara saksama, ia membuka kedua bola mata dan dalam samar terlihat langit-langit ruangan berwarna buram, kemudian menjadi putih.

"Sri, kamu tidak apa-apa?" tanya seorang wanita di posisi samping kanan.

Mendengar ucapan itu, Sri memalingkan tatapan seraya mengeser posisi tidurnya. Tak berapa lama, wanita berselendang merah di hadapan pun duduk di sebelah Sri. Mereka adalah para sahabat, Lasmi dan Mantili.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki saat ini, sebisa mungkin untuk bangkit dan duduk. Ternyata, Sri tak mampu jika tidak mendapat bantuan dari kedua sahabatnya. Kesigapan kedua mojang berselendang merah itu membuat Srikandi merasa sangat berutang budi.

"Kamu enggak apa-apa, Sri?" celetuk Lamsini seraya berjalan dan membawa nampan berisikan satu gelas air mineral.

Sesampainya di posisi samping kiri, wanita berusia dua puluj lima tahun itu menyodorkan satu gelas air minum.

"Ini, Sri. Kamu minum dulu," ucap Lasmini.

"Terima kasih, Mantili, Lasmini." Seketika Sri pun meneguk air menerap itu hingga tandas.

Posisi dari ketiganya sekarang sejajar, seraya menunggu penjelasan dari Sri seputar yang ia alami barusan. Mereka pun bercokol dan mendongak heran, kerlingan kedua bola mata mengikut sejurus ekspresi Srikandi yang masih bingung.

"Aku ingin mengatakan tentang mimpi yang baru saja aku alami, tetapi kalian jangan beritahu siapa pun perihal ini, ya?"

Kedua sahabat Sri pun saling tukar tatap, sebelum akhirnya mengangguk bersamaan dan menanti ucapan sahabat mereka seputar mimpi itu.

"Kami akan menyimpan semuanya, kami janji. Ya, enggak, Las?" Mantili pun menoleh lagi wajah wanita di sebelahnya.

"Iya, kita akan jaga rahasia ini dalam-dalam," titah Lasmini.

Dengan menarik napas panjang, mojang Bandung berusia dua puluh tahun itu memulai untuk berbicara.

"Jadi gini, pas aku latihan tadi terasa sangat pusing. Karena mendengar bisikan mantra yang sampai saat ini aku tidak tahu." Sri menjeda ucapan sejenak.

"Terus-terus?" sambar Lasmini semakin penasaran.

"Terus, aku seperti masuk di sebuah ruang gelap dengan jalan setapak. Yang menjadi pertanyaan adalah, tepat di ujung pandangan sedang ada sebuah pagelaran tari."

"Tunggu-tunggu, apa hubungannya mantra dengan pagelaran tari. Aneh banget tau enggak," cetus Mantili.

"Iya, aneh banget. Apa hubungannya, ya? Terus, Sri, kamu ada di sana gitu?" timpal Lasmi lagi.

"Aku duduk di kursi paling depan dan menyaksikan pagelaran itu. Awalnya, pengunjung hanya aku saja. Eh, pas pagelaran mulai para pengunjung menjadi padat. Setelah itu, suasana redup dan gelap."

"Ih ... aku takut banget kalau udah bahas seperti itu," ringis Mantili ketakutan.

Posisi duduk kedua sahabat Srikandi menjadi merapat. Sementara dimar ublik yang terletak di dinding ruang kamar terombang-ambing, padahal tiada angin menerpa.

Murka alam sepertinya sedang mendengarkan kesaksian Sri yang seolah nyata, mimpi itu tak pernah terjadi pada kedua sahabat Sri selama berada di sanggar Dewi Sartika.

Semenjak kedatangan mojang Bandung di sanggat tersebut membuat geger beberapa penari, mulai dari pertikaian hingga adu jotos antar sesama penari.

Seraya menafsirkan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi, ketiga dari penari itu menghabiskan malam dan mendekam dalam satu kamar saja. Lasmini dan Mantili seakan tak mau beranjak dari ruangan Sri.

DENDAM TUJUH SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang