Bisikan Gaib Yang Kembali Hadir

575 39 1
                                    

Hari demi demi hari terus berlanjut, seperti cendawan yang hadir di musim hujan, penuh lika-liku untuk mendapatkan satu keinginan. Itulah manusia, yang hanya mengejar betapa indahnya semesta, terkadang mereka tak tahu ada jiwa tersakiti di balik sikap.

Ironi setiap insan tidaklah sama, bagai berjalan di tengah musim semi. Bagaimna rasanya berdamai dengan waktu, murka alam setiap kepribadian dapat ditembus akan sebuah masa lalu. Bagai berjalan di tengah daun talas, tak selamanya bertahan atau lekas menjadi usang.

Tak urung jua jika asa itu menghilang, tinggallah hijrah yang akan lembawa kita berhanti berperang, damaikanlah hati ini bersama semesta, murka yang sesungguhnya baru saja akan tiba. Bercengkerama pada sebuah ironi seputar rumor yang pernah ada, sebelum akhirnya menderita pada satu kesaksian cinta.

"Srikandi," panggil seseorang dari arah belakang badan, suara yang sepertinya dikenali.

Secara spontan, wanita berusia dua puluh satu tahun itu menoleh ke belakang. "Eh, Lasmi, aku kira siapa."

"Apa yang kau pikirkan sekarang, Sri? Kelihatannya serius sekali," sambar sahabat yang paling mengerti seputar kehidupan, kemudian ia menggeser tempat duduk dan meletakkkan badan di atas sprei bernuansa serba putih.

"Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang. Karena yang kau tahu, perasaan ini harus mati agar tak ada hati yang tersakiti lagi."

"Ma-ksudnya? Perihal ...?" Lasmini pun mendongakkan kepada sedang pendangan saksama, ia menanggantung ucapan agar lawan bicara menyambarnya.

Dengan hati berat, Sri pun memgambil napas seraya membuang tatapan lirih menuju ventilasi. "Aku tak tahu kalau akhirnya menyakiti hati Darmi, karena perasaan itu juga tidak pernah ada dalam jiwaku."

"Jadi, kau cemas hanya karena hal seperti itu, Sri? Aku kira, ada hal yang lain kau pikirkan."

Tiba-tiba, pintu kamar kembali terbuka, di tengah percakapan yang masih genting akan sebuah jawaban alam. Kedatangan Mantili pada ruangan kamar itu membuat kedua orang yang sedari tadi bercokol menghentikan ucapan, mojang kelahiran Jawa Barat itu pun duduk di atas sprei dan tepat pada posisi samping Lasmini.

"Kalian sedang membahas apa?" tanya Mantili, ia membuang ekspresi heran pada kedua sahabatnya secara bergantian.

Sepertinya Lasmini tak mau membagi perihal pembahasan hari ini, karena ia bungkam ketika pertanyaan itu datang pada mereka. Ucapan di antara mereka berhenti, Mantili pun mengambil selendang miliknya dan milik kedua sahabat yang sengaja ia cuci beberapa hari lalu.

"Ini, pakai selendang milik kalian. Kita akan latihan sebentar lagi," titah Mantili seraya memberikan dua benda berwarna kuning dan hijau itu.

"Aku sepertinya tidak ingin latihan hari ini, kepalaku terasa sangat pusing." Srikandi meraih sodoran Mantili dan meletakkan benda berwarna hijau di atas nakas.

"Sri, sebentar lagi kita akan melaksanakan pagelaran. Kalau kau tak lagihan, Empu Sugiman dan istrinya akan marah besar," papar Mantili lagi.

Sepertinya Srikandi tak menghiraukan perkataan itu, ia berjalan meninggalkan kamar dan ke luar begitu saja. Sementara Mantili menarik napas panjang, ia juga tampak gelisah ketika awal masuk kamar, karena Darmi akan bertindak lebih parah pada sahabatnya itu.

Mantili bangkit dari posisinya dan melangkah meninggalkan sahabatnya, kemudian Lasmi menarik tangan Mantili lalu berkata, "kau mau ke mana, Mantili?"

"Lasmi, aku ingin mengejar Sri. Sebentar lagi kita akan melaksanakan pagelaran pertunjukan, aku cuka enggak mau kalau nanti Empu Sugirman marah."

"Biarkan Sri pergi, ia sedang tidak tenang pikirannya. Nanti saja ketika Srikandi telah enakan, pasti ia akan menemui kita." Lasmini menggandeng sahabatnya itu dan mereka meninggalkan ruang kamar.

DENDAM TUJUH SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang