[8] Sampai Habis Masa

835 137 7
                                    

Story by:

Anonymous

Bunyi gesekan roda koper di atas landasan sedimen samar-samar dapat tertangkap memasuki pendengaran. Gurat lengkung langsung tersemat di bibir manakala dering ponsel yang sejak tadi diharapkan berdengung menyambangi telinga. Binarnya mengerlip cantik. Menggerakkan jemari guna menggeser icon 'terima' sebelum akhirnya menempelkan alat komunikasi tersebut pada telinga kirinya.

"Udah sampai, Pa?" Bibirnya mengulum begitu mendengar suara dari si penelepon.

Napas dihela sejenak sembari mengeratkan coat yang membungkus tubuhnya. Entah mengapa udara terasa dingin padahal baru beberapa hari memasuki musim gugur.

"Udah, Yah." jawabnya. Terlampau sederhana.

"Syukurlah. Masih lama buat sampai di pintu keluar?"

Terdengar helaan napas sekali lagi. Namun kali ini, tawa kecil mengiringi. "Masih, Ayah. Ini aku juga baru banget keluar dari kereta. Well, ada yang nggak sabar banget kayaknya?" Alis kiri diangkat, pertanda menyiratkan rasa penasaran meskipun yang diajak bicara tidak dapat melihat.

Mendengar nada jahil serupa ledekan yang keluar dari mulut si lawan bicara, sang penelepon hanya bisa membalas dengan tumpahan tawa. Tidak menyangkal, sebab nyatanya, apa yang dituduhkan memang benar.

"Stay on the phone, ya, Pa?"

Yang ditelepon mengernyit. Merasa bahwa tidak biasanya ada permintaan macam ini.

"Tumben?"

"Why?"

"Aku tanya, tumben? Ayah nggak biasanya kayak gini?"

Jeda sejenak sebelum kemudian terdengar helaan napas dari si penelepon.

"Kim,"

Tak ada ketakutan sedikit pun meski nada bicara sosok di seberang sana terkesan penuh penekanan sekarang. Malahan, kekehan justru menjadi bentuk refleks-nya sebagai respons.

"Don't laugh, Seungmin. It's not funny at all. Memangnya salah kalau aku khawatir sama suamiku sendiri?"

Seungmin berdeham. "Okay, okay. Maaf, aku kelewatan, ya?" Gigitan bibir tanpa sadar dilakukan atas rasa antisipasi.

"It's okay. Mungkin aku aja yang terlalu sensitif karena capek seharian kerjaan tadi rasanya berantakan. Makanya respons kamu tadi kutangkap kayak kamu kesannya invalidate apa yang aku rasain. Aku juga minta maaf, ya? Nggak kebayang deh kepisah sama kamu seminggu aja udah segini kacaunya apalagi–"

"Kak, we already talked about this, didn't we? I told you I won't go anywhere. Udah gila kali aku kalau sampai ninggalin kamu. I even made a promise to you, don't you remember? Lagipula, no one can treat me better than you do. So, udah, ya? No need to be afraid of, Husband."

Hening.

Selalu. Selalu seperti ini tiap kali mereka membahas perihal ketakukan akan kehilangan. Terlalu terbiasa bersama hingga keberadaan satu sama lain sudah serasa seperti saling bergantung. Seungmin tidak suka dengan suasana canggung yang seketika menyelimuti mereka seperti ini. Sehingga, yang lebih muda memutuskan berdeham, bermaksud memecah atmosfir yang tidak seharusnya terjadi.

"Kak, aku udah lewat pintu keluar nih. Mau cari taksi dulu, ya?"

Belum sempat mendapat jawaban, netra Seungmin telah lebih dulu berpusat pada satu titik tepat di hadapannya. Di seberang jalan sana, seorang lelaki yang amat ia rindukan tengah tersenyum seraya melambaikan sebelah tangan yang tidak memegang ponsel.

[8] Across the Universe✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang