Akhir

572 97 7
                                    

Dadaku sesak, sungguh aku ingin berteriak. Dia putar balik saat aku hampir berpapasan dengannya, menghilang di balik lorong sekolah saat aku mengejarnya.

Bahkan kemarin saat aku berpapasan dengannya dan temannya, sapaku saja tak ia gubris.

Kau menghindariku, bahkan sapaku sudah tak lagi menarik perhatianmu.

"Rin, udah cukup sampai disini ya? Hati lo bukan mainan."

Aku tersenyum kecut, memori kebersamaanku dan Winter berputar di otakku, bukan lagi memori indah, ini berubah sesak saat aku mengingatnya. Benar yang Giselle katakan, aku harus berhenti, aku tak mau menyakiti diri sendiri lebih dalam lagi.

Entah dia yang hanya ingin bermain-main denganku atau aku yang terlalu terbawa perasaan. Dia yang hanya menganggapku sebatas kakak kelas atau aku yang terlalu menganggapnya lebih, aku tak tau.

Mungkin salahku karena menganggap semua perhatiannya itu bermakna lebih, terlalu menganggap semua gombalannya itu isi hati, mungkin dia hanya friendly tapi aku yang terlalu percaya diri.

Aku mengangguk menanggapi Giselle, mencoba tersenyum kecil walau masih tersisa perih, ku sandarkan kepalaku pada pundaknya, mumpung jam kosong mending aku tidur. Detik ini aku berhenti menantinya, lelah sendiri rasanya menanti yang tidak pasti, ngapain juga aku nyakitin hati sendiri, toh ya yang ngerasain ini sepihak saja, cuma aku. Jadi ngapain aku terusin? Ini sudah akhir.

"Galau ya galau aja lah nyet, ngapa badan gue yang lo jadiin sandaran gini, mana lo orangnya nempel molor lagi. Ga jadi iba gue sama lo." Keluh Giselle.

Bukannya menjauh, aku malah lebih menempel padanya menyamankan posisi tidurku, "bacot!"

-

"Rin, ngopi yuk!"

"Gue tuh bosen..."

"Laper anjer!"

"RIN MAIN YUK!!!"

Bacot!

Aku yang tadi membaca novel jadi terganggu karena ulahnya. Pulang sekolah bukannya pulang ke rumah sendiri malah pulang ke rumah temannya, siapa kalau bukan Giselle dengan segala kerandomannya. Mana dari tadi guling-guling ngak jelas di kasur, teriak-teriak pas mulai bosan, ditanya kenapa ngak pulang ke rumahnya sendiri aja malah jawab biar dekat sama Ningning. Padahal semenjak kejadian di kantin itu dia selalu lari duluan kalau berpapasan dengan Ningning, ngak jelas.

"Tujuan lo kesini biar ketemu Ningning, kenapa ngak kerumahnya aja sih? Dari pada ganggu gue mulu." Kesalku sembari menendang-nendang kecil tubuhnya yang terlentang di bawah kakiku.

"Ngak ah, malu."

"Kayak punya malu aja lo." Hardikku.

Ting!

Aku membuka handphoneku, menemukan salah satu notif dari salah satu sahabatku, aku buka saja siapa tau penting. Pesan itu dari Lia, dia mengirimiku sebuah lokasi yang aku tak tau dimana itu, dia menyuruhku untuk kesana nanti malam, ajakan Lia terkesan memaksa, tak biasanya dia seperti itu.

"Muka lo kecut banget habis lihat handphone, emang kenapa sih?" Giselle mengambil alih handphoneku dan membaca isi pesan yang Lia berikan, bisa kulihat juga ekspresi bingung yang Giselle tunjukkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Muka lo kecut banget habis lihat handphone, emang kenapa sih?" Giselle mengambil alih handphoneku dan membaca isi pesan yang Lia berikan, bisa kulihat juga ekspresi bingung yang Giselle tunjukkan.

"Lia ngapa dah?"

Aku hanya menggedikkan bahuku, toh ya aku juga bingung kenapa Lia tiba-tiba jadi sangat pemaksa, tidak biasanya.

"Nanti gue temenin ya? Mencurigakan banget si Lia, takutnya ada apa-apa."

Aku berfikir sejenak, memang lebih bagusnya aku mengajak Giselle, aku takut aja ada apa-apa nantinya.

Aku pun mengangguk dan tersenyum pada Giselle, "makasih ya."

"Seblak 2 bungkus pulangnya."

Asu!

Emang bener ya, sekarang jarang banget temen yang tulus.

"Btw, Rin. Ketos sekolah kita itu masih ngejar lo ya?" Tanya Giselle.

Aku menggedikkan bahuku, "ngak tau, tapi kayaknya sih masih, tiap hari spam chat gue mulu. Rasanya pengen ngeblok, tapi sadar gue tuh wakilnya, siapa tau chatnya penting kan, tentang Osis gitu."

"Terus? Chatnya selama ini penting ngak?"

Aku meringis, "kagak." Jawabku yang kemudian mengundang tawa kami berdua.

"Emang Jeno ngechat apa aja sih? Lihat!"

Giselle yang dari tadi memang memegang handphoneku beralih membuka aplikasi pesan yang masih gembokkan, dia berhasil membuka sandi aplikasiku yang memang dari dulu sudah kuberi tau. Giselle lah satu-satunya orang yang ku percaya, hal sekecil apapun dariku dia tau betul, bahkan sandi handphone juga buku diaryku pun dia tau.

Giselle tertawa saat melihat room chatku dengan Jeno, perasaan tak ada yang lucu, tapi Giselle tertawa geli saat menscroll isi chatnya.

Giselle tertawa saat melihat room chatku dengan Jeno, perasaan tak ada yang lucu, tapi Giselle tertawa geli saat menscroll isi chatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Emang bener-bener sih lo Rin. Giliran dichat udah makan belum, lagi ngapain, lagi dimana ngak pernah lo jawab. Giliran nyangkut Osis gercep lo replynya." Ucap Giselle yang masih menscroll isi pesan di handphoneku.

Giselle mengembalikan handphoneku dan menatapku serius, aku yang tak tau maksud tatapannya itu pun menaikkan alisku bingung.

"Lo aneh banget sih Rin. Di sekolah banyak loh yang suka sama lo, dari anak famous sampe ketos ajaloh naksir sama lo. Tapi kenapa sih ngak ada satupun yang nyantol? Tipe lo kayak gimana sih? Heran gue."

Aku diam, iya juga kalau dipikir-pikir. Ngak peduli seberapa banyak yang suka, kalau ngak sefrekuensi ya tetep aja percuma ya kan.

"Giliran Winter aja langsung kecantol lo."

Aku langsung saja melompat dan menindih tubuh Giselle, bantal yang sedari tadi kupeluk kini kugunakan untuk membekap wajahnya.

"MATI KAU! KAU RESE KALO HIDUP!"

Tbc

Buat Drama Sendiri Yuk! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang