Tanda-tanda

179 41 9
                                    

Belum juga sampai separuh perjalan menuju Bali. Keadaan bis sudah tak seramai saat berangkat tadi. Sebagian anak tidur, sebagian sibuk dengan mp3 mereka masing-masing, sebagaian lagi seperti Abadi saat ini. Mabuk perjalanan.

"Badi, lu ngga papa?"

Mendengar itu Ciza dan Celine kompak melihat kebelakang. Abadi nampah payah dan pucat. Pelipisnya di banjiri keringat dingin. Kedua tangannya memegang jok belakang Celine. Kepalanya sedikit tertunduk.

Celin bangun dari kursinya dengan cepat. Ia menghampiri Abadi dengan membungkuk.

"Lu ngga papa.."

Abadi menggeleng satu tangannya memegang mulutnya.

"Boleh minta supirnya berhenti ngga?"

"Mau muntah ya?" Bisik Celine yang masih bisa di dengar Ciza juga Renzo.

Abadi mengangguk lemah. Sebenarnya ia ingin bertahan. Tapi rasanya tidak bisa.

Abadi membekap mulutnya kuat saat dorongan dari perutnya datang dengan kuat begitu saja.

Celine dengan tanggap, mengambil bungkus sisa snack Ciza memberikannya pada Abadi.

"Pakai ini dulu... Ciz.." ucap Celine meminta bantuan pada Ciza. Ciza mengangguk. Ia yang semula menonton dari kursi bergegas turun untuk menemui sang supir.

Abadi memegangi perutnya. Ia benar-benar tak tahan lagi. Dorongan itu benar-benar kuat dan muncul dengan tiba-tiba tanpa sanggup ia tahan. Ia memuntahkan sebagian isi perutnya ke dalam plastik bekas snack yang di berikan Celine. Lalu setelah bis berhenti, Abadi bergegas turun.

Celin mengambil tisu basah juga air mineral dari tempatnya kemudian menyusul Abadi.

Ciza melihat itu, melihat bagaimana Celine nampak khawatir. Meski belum sampai setahun Ciza mengenal Celine namun tidak biasanya Celine seperti itu. Ikut campur dan mengkhawatirkan orang. Bahkan meski sesuatu terjadi di depan mata Celine. Celine adalah tipe yang pura-pura tak melihat hal itu. Bukan bergegas menawarkan bantuan apalagi melakukannya langsung. Kecuali, kecuali orang itu dekat dengan Celine.

Abadi tidak dekat dengan Celine. Paling tidak itu yang Ciza tau. Ciza berjalan kembali ke arah kursinya. Bukan hanya Ciza yang bingung. Tapi juga beberapa teman lainnya.

"Celine ngapain?"

Ciza menggeleng tak mengerti. Mereka bertiga melihat dari kaca jendela, bagaimana Celine mengusap punggung Abadi. Memijit kecil di pundak lalu memberikan air mineral.

Bukan hanya Abadi yang turun. Beberapa anak lain yang mabuk perjalanan juga ikut turun.

"Lu ngapain di situ?" Tanya Ciza pada Renzo yang sudah duduk tenang di kursinya.

"Ada bekas muntah Abadi. Nanti gua ikut muntah juga gimana?"

Ciza melihat ke arah kursi belakang. Memang ada, tapi itu sangat sedikit sekali.

"Bersihin lah. Itu kan temen lu.."

Renzo bergidik. "No, thanks. Lu aja..."

Ciza mengerling kesal pada Renzo. Ia mengambil tisu yang ia selipkan di belakang Jok Diandra.

"Ngga ada gunanya lu, jadi laki" cibir Ciza. Ia menarik beberapa lembar tisu lalu membersihkan bekas muntahan Abadi.

"Ih lu ngapain?" Tanya Renzo

Ciza tak menyaut. Ia hanya fokus membersihkan daerah kursi Abadi.

"Udah sana balik lagi"

You are Invited (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang