💕 Part 2 💕

4.2K 270 2
                                    

Part 2

"Sah!” ucap para saksi menambah statusku mempunyai dua istri.  Ya kini aku telah sah berpoligami.  Aku tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Memikirkannya tidak pernah apalagi membayangkannya. Tetapi sekarang inilah yang terjadi. Di ruang tamu kediaman orang tuaku aku mengucap akad, menjadikan Kinanti  Meira Larasati menjadi istri kedua. Perempuan yang kukenal dari kecil, dengan rambut panjangnya yang khas, kadang dikuncir ekor kuda, digerai, atau dikepang. Perempuan cerdas dan lincah, sayangnya aku hanyak menganggapnya sebagai adik, sama dengan anak asisten rumah tanggaku lainnya. Mungkin karena aku anak tunggal jadi semua kuanggap adik.

Sebuah langkah yang sulit ketika aku memutuskan poligami. Aku sangat mencintai Sheila, cinta pertamaku. Memang  baru 5 tahun menikah dengan Sheila setelah kebersamaan kami  dari kelas 1 SMA, cintaku tidak pernah pudar. Sheila yang cantik, ceria, selalu enak dipandang dan mandiri. Aku suka dengan kemandiriannya. Saat ini Sheila sedang menikmati puncak karirnya dan aku tidak mau menganggunya dengan hal remeh temeh soal anak tetapi keluarga besarku terutama bunda selalu menanyakan kapan kita punya anak. Lama-lama jengah juga mendengar pertanyaan bunda.

Sheila yang awalnya tidak setuju malah berbalik arah mendukung rencana bunda.

“Kamu yakin, Sayang? Rela kalau dimadu?” tanyaku tidak percaya dengan peryataannya.

Sheila mengangguk pasti. “Wanita manapun pasti tidak ingin dimadu tetapi aku tidak bisa menghindar terus dari pertanyaan Bunda. Apalagi kamu tahu kondisi kesehatanku, juga aku sedang menikmati karirku. Jadi daripada stress mengapa tidak diiyakan saja tawaran Bunda.”

Aku menatap Sheila tajam. Tidak ada kebohongan di matanya karena memang ia tidak pandai berbohong. “Meski kamu mengizinkan, aku pikirkan lagi. Aku tidak mau membuat keputusan yang gegabah.”

“Terima kasih, Bay kalau kamu mengerti,” kata Sheila dengan mata yang berkaca-kaca.

Kurengkuh Sheila dalam pelukanku. Air matanya tumpah membasahi kaos yang kukenakan. Aku tahu ia terluka. Aku tahu ia ingin menolaknya tetapi tidak  ada pilihan baginya selain menerima kehadiran madunya. Dan melalui pemikiran yang panjang aku menerima Kinan sebagai istri keduaku. Dengan menjabat tangan Panji sebagai wali nikahnya, tanggung jawab Kinan beralih padaku.

***

“Mas Bayu mau sesuatu?” tawar Kinan setelah berdiam diri cukup lama dalam kamar kami. Sehabis  ijab qobul tidak ada resepsi, hanya syukuran yang dihadiri beberapa orang saja.

Beberapa saat yang lalu aku menyusul Kinan ke kamarku dulu yang sekarang menjadi kamar kami. Awalnya Kinan menolak karena ini kamar Sheila ketika dia menginap di rumah orang tuaku tetapi keputusan Bunda mutlak jadilah ini kamar kami.

“Ki, duduk disini,”panggilku sambil menepuk tempat di sebelahku. Kinan menurut. “Seperti yang Mas obrolin kemarin kita jalani saja pernikahan ini. Mungkin ini terkesan tidak adil bagimu tetapi inilah yang bisa Mas tawarkan,” aku mulai membiasakan memanggil Mas untuk Kinan.

Kinan terdiam. Apakah dia akan selalu terdiam setiap berbicara denganku. Mana sikap ceriwisnya? Aku ambil tangan Kinan. Ini kali kedua kami bersentuhan setelah dia mencium tanganku pas ijab qobul. Ia terkejut. “Mas tidak main-main dengan pernikahan ini. Maafkan kalau Mas melukaimu.”

Kinan mendongak. Mata indah dengan bulu yang lentik menatapku. “Mas tidak salah kok.  Malah aku yang harusnya minta maaf telah masuk ke kehidupan Mas Bayu dan  Mbak Sheila. Aku tahu diri tempatku dimana,” kata Kinan tajam yang menusuk relung hatiku.

Tidak ingin melukainya lebih dalam aku segera beranjak pergi untuk mandi. “Mas mandi dulu.”

“Aku siapkan bajunya, Mas,” dengan sigap Kinan berjalan mengambil bajuku.

“Tidak usah, Ki. Mas bisa sendiri,” larangku sebelum dia mencapai lemari.

“Ini tugasku sebagai istri, Mas. Bukankah kita sudah sepakat untuk menjalani pernikahan ini?”  Kinan menyiapkan baju yang akan kupakai. Ia hafal letak-letak bajuku karena dulu ia sering membantu ibunya membersihkan kamarku. ”Bajunya di sini ya, Mas. Aku mau membuat teh mint sebentar.”

Kinan masih hafal kesukaanku. Sebelum tidur aku pasti minum teh mint karena akan terasa menyegarkan. Biasanya aku buat sendiri atau asisten rumah tanggaku yang membuatkan, Sheila jarang sekali karena seringnya aku sampai rumah dia belum pulang. Bahkan tidak pulang kalau mau ada pagelarann dan aku memakluminya.

Kini, belum genap sehari pernikahanku Kinan sudah bersikap manis sabagai istri. Layakkah kalau kusakiti dan aku bukan tipe laki-laki seperti itu yang sering menyakiti wanita. Aku selalu ingat Bunda kalau mau menyakiti Sheila makanya aku selalu mengalah. Memikirkan sikap manis Kinan membuatku pusing, haruskah aku memberikan haknya. Belum hak, haruskah aku berbagi ranjang dengan Kinan?

***

Cantik. Satu kata untuk perempuan yang sedang tidur di ranjang besar kami. Sungguh cantik alami tanpa polesan. Kecantikan yang dibalut dengan sikap santun dan kecerdasan serta kepintaran yang tinggi. Pasti di luar sana banyak laki-laki yang menyukai Kinan. sungguh beruntung aku memperistrinya.

Aku mendekati ranjang besar kami. Kupindai wajah cantiknya sekali lagi.

Maafkan Mas Ki, telah memupuskan masa mudamu untuk menjadi pendampingku. Semoga keputusan kita tidak disesali di kemudian hari. Semoga Mas bisa berlaku adil dan akan selalu membahagiakanmu, Aamiin, doaku dalam hati.

Kantuk ini sudah tidak dapat aku tahan. Akhirnya kuputuskan untuk tidur di sofa saja. Selain tidak mau membangunkan Kinan, aku juga belum terbiasa berbagi ranjang dengan orang lain selain Sheila.

Aku kecup kening Kinan sebentar. Selamat malam Ki, have a nice dream.

Tbc...

Assalamu'alaikum...selamat pagi

Menikmati weekend kalian, emak datang lagi. Alhamdulillah pelan tetapi pasti ada yang baca.

Thank you for reading. Jangan lupa vote dan koment...ditunggu 😘😘😘

Aku (bukan) Istri Kedua (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang