💕 Part 3 💕

4.2K 261 4
                                    


Babak baru dalam hidupku dimulai kala menyandang nama Ny. Kinanti Zaydan Bagaskara. Bahagiakah aku? Tidak tahu. Atau sedih. Perasaanku campur aduk apalagi sekarang ketika aku mulai menempati kamar ini. Ya ini kamar pengantin kami. Mas Bayu memang tidak kaku seperti cerita-cerita di novel yang seperti aku baca, perlakuannya padaku juga baik tetapi aku masih belum mengerti akan sikapnya menerima pernikahan ini.

Pandanganku menyapu kamar kami, dulu kamar Mas Bayu. Masih sama tidak berubah juga cat dindingnya dan tata letak lemari, buku-buku Mas Bayu, semuanya. Dulu aku sering membantu Ibu membersihkan kamar ini bersama Tyas, anak Bulik Mia yang juga kerja di sini. Kadang aku dan Tyas buka buku-buku arsitektur Mas Bayu.  Oh ya Mas Bayu itu arsitek yang hebat. Dia punya biro arsitek sendiri selain memimpin perusahaan kontraktor yang diwariskan Pakde Guruh. Yang aku dengar perusahaan bertambah maju sejak diambil alih oleh Mas Bayu.

Panggilan Mas Bayu membuyarkan lamunanku. Lagi-lagi aku terdiam lama ketika mulai berhadapan dengannya. Hei mengapa masih canggung saja, bukankah dia suamiku. Obrolan kemarin masih berlanjut. Tentang pernikahan ini. Tahukah Mas, semakin sering kamu membicarakan pernikahan ini, semakin sakit hatiku. Mengapa tidak jalani saja, seperti katamu. Bahkan dilayaniku saja kamu menolak meski akhirnya menerima, monologku dalam hati.

Kata-kata ibu sebelum menikah selalu aku ingat. Ibu memang tidak berpendidikan tinggi tetapi pengalaman hidupnya membuat pikiran ibu menjadi bijak dan pada dasarnya juga cerdas. Menurun kepadaku. Layani suamimu dengan baik, jangan lihat dia Mas Bayu tetapi lihatlah dia suamimu, itu ladang surgamu selagi dia mengajarkan yang baik-baik dan tidak bertentangan dengan agama dan norma-norma.

“Ini Mas tehnya.” Segelas teh mint aku letakkan di meja. Tampak Mas Bayu sedang asyik menekuni pekerjaannya di depan laptop.

“Taruh saja,” kata Mas Bayu tanpa beralih dari laptop.

Setelah menaruh teh, aku berdiri tidak jauh dari meja tempat Mas Bayu kerja. Ia menyadari keberadaanku yang diam saja.

“Kalau ngantuk, tidur saja. Jangan tunggu Mas. Masih banyak pekerjaan yang harus Mas selesaikan.

“Eh iy-ya,” kataku gugup.

“Melamun lagi ya, mengapa sih kamu sering melamun?” tanya Mas Bayu yang membuatku semakin canggung.

“Siapa yang melamun,” kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Aku tidur dimana?” tanyaku polos.

Tiba-tiba Mas Bayu tertawa dan mendekatiku. Ia cubit pipiku gemas yang membuatku dag dig dug tidak menentu. “Ya di tempat tidur masak di kamar mandi.”

“Tempat tidur itu?” tunjukku. Tidur berdua dengan Mas Bayu di ranjang yang sama? Oh tidak!

“Dimana lagi?” Mas Bayu kembali menekuni pekerjaannya.

“Terus Mas Bayu?”

“Mengapa dengan aku?”

“Kita berdua tidur di sana?” mengapa sih tiba-tiba aku bego begini.

“Iyalah,” ujar Mas Bayu sambil tersenyum. “Tetapi kalau tidak nyaman biar aku tidur di sofa.”

“Tidak, tidak, nyaman kok.” Aku segera bersiap untuk tidur. Aku ambil guling untuk diletakkan di tengah-tengah sebagai batas.

“Jilbabnya tidak dilepas,” aku tidak tahu dari kapan Mas Bayu mengamatiku setelah aku merebahkan diri.

“Harus … dilepas ya?” ujarku terbata.

“Kalau kamu tidak nyaman pakai saja meski aku berhak melihatnya. Sudah jangan pikirkan omonganku. “

Bagaimana aku tidak memikirkan jika ucapan Mas Bayu seperti itu. Ambigu. Kadang manis kadang cuek. Sebenarnya inginmu apa sih, Mas.

***

“Duh pengantin baru,  bangunnya kesiangan?” goda Bulik Mia sesaat aku masuk ke dapur untuk membuatkan Mas Bayu kopi kental. Aku tahu kesukaannya kalau pagi hari. Secangkir kopi kental dan sepotong roti dengan selai coklat.

“Apaan sih, Bulik,” tangkisku menghadapi godaan Bulik Mia.

“Itu lihat muka Kinan merah, Mbak Tuti,” tunjuk bulik Mia ngomong sama ibu.

“Pengantin baru wajar to Mia. Sudah jangan digodain nanti tambah malu,” ibu selalu menjadi penolongku. “

“Terima kasih, Bu,” kataku sambil mencium ibu dan membawa nampan yang berisi kopi dan roti dengan selai coklat. Aku membawanya ke kamar karena Mas Bayu masih melanjutkan perkerjaannya. Entah jam berapa ia tidur semalam. Tahu-tahu tadi subuh aku mendapatinya tidur di sofa. Bukankah  katanya mau berbagi ranjang denganku.

“Ki, maafkan Mas belum bisa tidur berbagi ranjang denganmu. Karena kita sama-sama belum nyaman saja,” Mas Bayu mengeluarkan ketidaknyamanannya tidur denganku tanpa aku bertanya. “Pelan-pelan ya, Ki.”

“Aku tahu, Mas. Aku minta maaf ya.” Aku pilin jilbab untuk mengusir kecanggunganku. Entahlah kadang aku biasa dengan Mas Bayu dan sebaliknya.

Mas Bayu mendekatiku dan duduk di sampingku. Ia meraih tanganku. “Tidak perlu minta maaf harusnya Mas yang minta maaf telah menyeretmu masuk ke kehidupan kita. Kamu masih muda Ki, pintar, cerdas dan cantik.”

Wajahku bersemu merah mendengar pujiannya. Mengapa hatiku sesenang ini?

“Mengapa wajahmu merah-merah begitu?” goda Mas Bayu yang mendapatiku malu-malu.

“Mas Bayu, ih sukanya godain,” aku cubit lengan kekarnya.

“Duh sudah berani cubit-cubit, ya?”

Cubitanku makin menjadi dan Mas Bayu berusaha menghindar dengan menangkis tanganku. Kita seperti anak kecil saja hingga tanpa sengaja jilbabku terlepas, rambut panjangku pun terlihat.

“Cantik,” kata Mas Bayu sambil menatapku lekat. Tangannya mulai bergerak membelai rambutku yang tergerai. Pelan, pelan wajah Ma Bayu mulai mendekat dan menciumi rambutku.

Aku sesak napas dibuatnya karena sedekat ini dengan Mas Bayu. Ketika ciumannya mulai beralih kepucuk kepalaku, gawainya berdering yang membuat kami kaget dengan aktivitas yang kita lakukan.

“Mas angkat dulu, ya?” Mas Bayu salah tingkah. Ia mengangkat telpon lalu keluar menuju balkon.

Aku merapikan rambutku dan memakai jilbabku lagi. Kulihat Mas Bayu masih berbicara di telpon dan terlihat serius.

“Maaf Ki, yang barusan.” Tiba-tiba Mas Bayu sudah berdiri di sampingku. “Aku suka”.
“Maksud, Mas Bayu?” Kegiatanku menata meja kerjanya terhenti. Mas Bayu menuntunku untuk duduk di sofa.

Diraihnya tanganku. “Tidak tahu mulai kapan, mungkin sejak Mas  memutuskan untuk poligami. Dan tahu kalau perempuan yang akan aku nikahi kamu, sejak itu Mas memikirkanmu. Mengingat kebersamaan kita dulu hingga sekarang. Ki, mungkin Mas sudah jatuh cinta denganmu.” Tukas Mas Bayu jujur yang membuatku melambung tinggi. Mas Bayu mencium kedua tanganku. Aku semakin melambung.

Apakah ini mimpi? Kalau mimpi aku tidak ingin bangun lagi. Baru nikah sehari anganku sudah dibuat tinggi olehnya.

“Ki, Ki...” Mas Bayu mencubit hidungku.

“Kok dicubit, sih?” rajukku manja.

“Mengapa sih suka melamun. Mas jadi gemas. Ada orang disini. Mas bukan patung.”

“Maaf, Mas,” ujarku merasa bersalah.

“Maaf terus,” Mas Bayu pura-pura ngambek.

“Ih ngambekan. Jelek tahu,” aku mulai mencubit lengannya. Dan berhasil, aku terperangkap dalam pelukannya.

“Ayo jalani pernikahan ini dengan serius.”

Tbc....

Assalamu'alaikum...

Siang yang panas membara Kinan - Bayu tayang. Ayuk ah ramein. Tinggalkan vote dan komen ya. Terima kasih kak 🙏

Aku (bukan) Istri Kedua (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang