Siapa laki-laki paling beruntung dan bahagia di dunia ini. Jawabnya aku. Betapa tidak, dianugerahi istri yang cantik-cantik dan sekarang salah satu istriku hamil. Bagaimana tidak bahagia. Bahkan teman-temanku tidak menyangka aku yang agak pendiam mempunyai istri dua.“Enak banget Pak Bos ini. Sheila cantik, Kinan apalagi. Nikmat mana yang kau dustakan?” komentar Aldi ketika kami ngumpul bareng.
“Kinanti hamil, lagi,” sahut Lilo menambahi. “Kalau bosan mau menampung,” lanjutnya tertawa terbahak-bahak diikuti oleh Aldi dan Surya.
Aku melempar kulit kacang ke arah Lilo. “Tidak ada yang dibuang. Emangnya barang. Lagi berani kamu sama Dena?” membayangkan Dena yang galak aku ngeri-ngeri sedap. Istri Lilo yang membuat playboy seperti Lilo bertekuk lutut.
“Halah Lilo ngomong doang. Di depan Dena juga langsung mengkeret,” Surya ikut-ikutan memojokkan Lilo.
“Aku bukannya takut tetapi cinta setengah mati sama Dena.” Lilo melakukan pembelaan.
“Jadinya budak cinta,” terang Aldi yang disambut dengan tertawa keras kami berempat.
Itulah kami kalau berkumpul. Di antara berempat hanya aku yang belum punya anak. Makanya sekarang aku benar-benar bahagia. Aku over protektif terhadap Kinan. Awalnya dia sempat protes tetapi belakangan dia nurut meski kadang ngomel-ngomel juga. Aku lakukan ini demi dia dan calon buah hati kami.
“Mas, aku mau ke mal ya. Ketemu sama teman-teman kuliah,” izin Kinan ketika aku mau berangkat ke kantor.
“Sama siapa?”
“Dari rumah sendiri lah, nanti di mal ada tiga orang.”
“Mengapa tidak bertemu di rumah? Undang mereka,” kuraih pinggang Kinan dan tanganku yang lainnya bebas mengelus perut Kinan yang mulai kelihatan membuncit. Kandungannya beranjak tiga bulan. Selama ini kehamilannya berjalan lancar. Tidak ada masalah. Ngidam pun wajar.
“Di mal karena dekat kantornya Mila dan Raina. Lidya menjadi guru. Hanya aku yang tidak kerja,” sahutnya sendu. Mendadak rona mukanya sedih.
Kutangkup wajahnya. Kuselami manik matanya. Ada nada kesedihan. “Sayang dengerin. Mas melarang kamu kerja di kantoran tetapi kalau mau buka usaha nanti Mas bukakan,” hiburku. Karena hormon kehamilan Kinan jadi mudah sensitif.
“Enggak mau kalau butik kayak Mbak Sheila.”
“Restoran?’ tawarku membeli pilihan. “Sayang kan pintar masak. Boleh, tetapi nanti setelah anak besar. Sekarang masak untuk Mas saja.”
“Ah curang. Mas Bayu enggak asyik. Memang enak apa ketemu suami tiga hari sekali selanjutnya ngelangut dan bengong saja” ucap Kinan lirih tetapi masih sempat kudengar.
Kubawa Kinan ke pelukanku. Tidak lama isak tangisnya mulai terdengar. “Ssstttt Sayang, meski cuma tiga hari apakah kamu kurang kasih sayang dari Mas? Mas jauh tetap telpon kamu, hubungi kamu,” kuusap kepalanya lembut. “Kalau tidak ada kesepakatan itu Mas penginnya tiap hari” Kesepakatan sialan umpatku.
Kinan masih sesenggukan di pelukanku. Kemejaku jadi kusut. Bukan masalah kemejanya. Masalahnya aku mau berangkat kerja. Jam 9 nanti ada meeting. Tidak mungkin aku meninggalkan meeting karena ini sangat penting. Meninggalkan Kinan dalam kondisi seperti ini juga tidak mungkin.
“Mas berangkat kerja saja. Aku tidak apa-apa,” sepertinya Kinan tahu apa yang aku pikirkan.
“Benar Mas berangkat.” Kupegang bahunya sambil membingkai wajahnya yang sembab.
Kinan mengangguk.
“Kalau ada apa-apa telpon ya. Nanti pergi diantar sopir, jangan sendiri,” aku segera berganti kemeja baru dengan dibantu Kinan. “Baik-baik di rumah,” pamitku mencium keningnya lama dan bibir kami sekilas bertemu.
“Mas hati-hati.”
Meeting berjalan lancar dan sukses. Tetapi mengapa aku cemas ya. Kuketuk-ketuk bolpoin di meja. Ada apa ya?“Ada masalah, Mas?” tanya Alif membaca kecemasanku.
Aku menggeleng. “Bagaimana Nanda? Sudah hamil?” Alif menikah dengan Nanda sebulan setelah aku dan Kinan menikah.
“Belum Mas tetapi kita berusaha terus,” kekeh Alif yang membuatku juga ikut tertawa.
“Harus itu dan berhasil, kan? Sayangnya Sheila belum padahal membayangkan keduanya hamil bareng seru juga,” kataku membayangkan para istriku hamil. Tidak lama gawaiku berdering.
“Apa! Ya aku segera kesana,” buru-buru aku bangkit. “Alif nanti kamu temui Mr. John.”
“Apa yang terjadi? Mas Bayu mau kemana?” berondong Alif mengikutiku menuju lift.
“Kinan jatuh di mal. Didorong orang,” jelasku memasuki lift. “Kamu urus di sini.” Mengapa aku cemas? Ini jawabannya. Mengapa ia bisa didorong orang? Siapa yang mendorongnya? Ini disengaja atau tidak. Kalau disengaja orang itu main-main dengan Bayu Zaydan Bagaskara.
Sesampai di rumah sakit, kudapati Kinan tertidur. Sudah ada Bunda dan Mak Tuti, ibunya Kinan. “Bagaimana keadaan Kinan, Bun?” tanyaku mencemaskan Kinan.
“Kita di luar saja. Nanti Bunda jelaskan.” Bunda mengajakku duduk di luar. “Titip Kinan, Bu.”
“Kinan baik-baik saja, Kan?” tanyaku tidak sabaran.
“Kinan baik-baik saja. Alhamdulillah darah tidak banyak keluar. Setelah ini harus bed rest total takut kenapa-kenapa nantinya. Yang jadi pertanyaan Bunda bukan itu. Siapa yang mendorong Kinan di mal. Kata teman-temannya Kinan pamit ke kamar mandi. Karena di rasa lama salah satu temannya nyusul. Pas dikamar mandi Kinan ditemukan sudah bersimbah darah.”
Tanganku mengepal kuat mendengar penjelasan Bunda. “Di kamar mandi tidak ada CCTV, ya?”
“Ya tidak adalah! Ngawur saja kamu.”
“Aku harus menyelidikinya, Bun. Kinan tidak punya musuh. Jarang keluar juga. Sekali keluar di dorong orang.”
“Bunda setuju. Coba suruh Alif menyelidikinya!”
“Mas Bayu dicari Kinan.” Mak Tuti keluar dari kamar dan memanggilku.
“Mas, bayi kita tidak apa-apa, kan?”
Kupeluk Kinan untuk memberikan kekuatan sesaat setelah aku masuk kamar.
“Tidak apa-apa, Sayang. Apa yang kamu rasakan? Pusing? Yang sakit mana?” Kulepas pelukannya.
“Lemes saja, Mas. Tadi pas ….”
“Sstt, enggak usah bicara dulu,” peringatku sambil menempelkan jariku ke mulutnya. Aku tahu kalau Kinan cerita yang ada hanya membuatnya sedih. ”Mau tiduran lagi?” Kubaringkan Kinan di tempat tidur. Aku raih tangannya.
“Mas sudah makan?” Di saat-saat seperti ini masih saja memperhatikan suaminya. Ini yang kusuka dari Kinan. Sikap perhatiannya.
Aku menggeleng. Tadi meeting sampai menjelang jumatan. Habis jumatan menyelesaikan perkerjaan hingga ke sini. Aku tidak sempat makan dan tidak merasakan lapar.
“Bagaimana sih sampai tidak makan. Kalau sakit yang repot siapa?” cerewetnya Kinan mulai keluar pun di saat dia sakit.
“Iya nanti Mas makan.”
“Sekarang. Titik!” titahnya yang tidak bisa kutolak. “Mas makan nih tetapi ingat mulai sekarang ini kamu harus bed rest total. Apa yang Mas omongin, harus dituruti. Mengerti,” kataku yang juga tidak boleh dibantah.
“Tetapi masak di tempat tidur terus!” protes Kinan.
“Katanya nurut?” peringatku lembut.
“Iya, iya, Sayang. Puas, kan?” katanya seperti tidak rela dengan aturanku.
“Bagus. Mas keluar dahulu. Ibu sama Bunda Mas suruh masuk, ya,” pamitku keluar setelah mencium keningnya.
Sambil menuju kantin aku menghubungi Alif, meminta tolong mencari tahu siapa yang berani macam-macam denganku.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) Istri Kedua (TAMAT)
Roman d'amourSiapa pun perempuan di dunia ini, tidak ada yang ingin menjadi istri kedua. Namun, jika menjadi istri kedua adalah takdir yang harus dijalani, apakah bisa menolaknya. Kinanti Keira Larasati, mau tidak mau harus menjadi istri seorang Bayu Zaydan Bag...