Aku tidak bisa berkata apa-apa ketika dokter menyuruhku bed rest total. Padahal aku merasa baik-baik saja tidak perlu bed rest total. Atau mungkin ini akal-akalan Mas Bayu saja yang terlalu memprotekku. Jika iya, betapa harusnya aku bersyukur dengan rasa sayang dan cintanya Mas Bayu kepadaku bukannya mengeluh begini. Tetapi menjalani sisa enam bulan kehamilan di tempat tidur siapa juga yang mau.Setelah menjalani rawat inap 4 hari di rumah sakit tiba saatnya untuk pulang. Ini hari Senin, jatahnya Mbak Sheila. Seperti tidak rela melepas Mas Bayu karena tiga malam terakhir benar-benar ada untukku.
“Mas nginap di sini saja, ya?” Sepertinya Mas Bayu bisa membaca kekhawatiranku.
“Tidak, tidak, Mas Bayu pulang saja,” usirku halus.
“Kamu enggak usah pulang. Nginap di sini. Sheila pasti maklum kalau kamu enggak pulang,” kata Bunda datang sambil membawa sepiring melon dan semangka segar.
“Jangan, Bun. Kasihan Mbak Sheila. Aku tidak apa-apa kok tidur sendiri. Nanti kalau takut minta tolong Ibu untuk menemani,” kataku tetap keukeuh menyuruh Mas Bayu pulang. Memang sejak peristiwa itu tidurku sering tidak tenang, mengigau.
“Benar enggak apa-apa?” tanya Mas Bayu sekali lagi.
Aku mengangguk. Aku tidak boleh egois.
Mas Bayu beranjak dari tempat tidur sambil membawa piring kosong. “Mas ke kantor lagi lalu langsung pulang ke apartemen” pamitnya seraya mencium keningku. “Jangan rewel ya, Sayang. Kasihan Bunda,” diusapnya perutku sebelum melangkah keluar kamar.
***
Hampa. Itulah yang kurasakan ketika Mas Bayu pergi. Tiga hari kemarin Mas Bayu benar-benar menjadi milikku kini berganti pemilik. Kadang aku lelah menjalani semua ini. Antara ingin melepas Mas Bayu atau mempertahankan pernikahan ini. Kembali lagi ke alasan semula ketika aku menerima tawaran Bunda. Harus ikhlas berbagi Mas Bayu dengan Mbak Sheila.Aku berusaha mengenyahkan perasaan egois itu dan fokus ke kehamilanku. Berusaha afirmasi positif ke dalam diriku bahwa aku bisa menjalaninya. Ini rutin kulakukan sebelum tidur. Mataku terpejam sebentar membayangkan kebahagiaanku saat anak ini lahir. Aku tarik napas dalam-dalam dan membuangnya.
Sekitar setengah jam yang lalu Mas Bayu menelponku memastikan aku baik saja-saja. Ia baru saja pulang dari kantor. Katanya lembur sedang Mbak Sheila belum pulang juga. Ketemu klien. Jam 10 malam ketemu klien. Klien apa? Entahlah.
“Sakit-sakit, mengapa kamu mendorongku. Apa salahku? Apakah kita mengenal,” kataku sambil memegang perutku yang sakit sekali karena dorongan orang yang tidak kukenal.
“Mau tahu salahmu? Menikah dengan Bayu,” kata orang itu tertawa keras.
“Siapa kamu? Tolong … tolong ….”
“Kinan, Kinan, bangun Sayang. Kinan .…”
Aku gelagapan. Bangun dan memeluk Bunda. Tidak lama ibu datang.”Aku takut, Bun, Bu,” tangisku memeluk Ibu erat.
Bunda mengelus punggungku. “Ssttt jangan takut. Ada Bunda, Ibu, Ayah, semua ada di sini. Bunda telpon Mas Bayu, ya?”
“Jangan, Bun. Ini sudah malam.” Aku melirik ke arah jam dinding. Jam 1 malam.
“Mas Bayu harus tahu dan datang.” Bunda meyakinkanku.
“Nanti Mas Bayu panik, Bun,” terangku lagi. Aku tidak ingin menganggu Mas Bayu dengan Mbak Sheila. Mungkin saja mereka sedang melepaskan hasrat karena beberapa hari tidak bertemu. Membayangkannya saja sudah timbul cemburuku.
Setelah Bunda dan Ibu berhasil menenangkaku, aku mencoba tidur lagi. Miring kanan, miring kiri, terlentang. Ibu membaca kegelisahanku.
“Ada apa, Nduk. Sudah enggak usah dipikirkan yang kemarin. Kamu harus tenang. Biasanya pintar kasih motivasi orang, buat sendiri kok susah,” kata Ibu mengusap-usap rambutku. Kebiasaanku sejak kecil kalau tidak bisa tidur ya seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (bukan) Istri Kedua (TAMAT)
RomanceSiapa pun perempuan di dunia ini, tidak ada yang ingin menjadi istri kedua. Namun, jika menjadi istri kedua adalah takdir yang harus dijalani, apakah bisa menolaknya. Kinanti Keira Larasati, mau tidak mau harus menjadi istri seorang Bayu Zaydan Bag...