Lidah Tak Bertulang

210 49 5
                                    

Setelah beberapa bulan tidak pulang kampung, Luvina akhirnya sampai juga di Kraksaan. Perjalanan dari Malang dimulai selepas Subuh. Keharuan menyeruak saat melihat rumah satu lantai dengan tiga kamar tidur itu. Ada kerinduan yang membuncah. Kehangatan akan cinta kasih penghuni-penghuninya yang dulu masih bersama. Hanya ada ibunya dan adik bungsunya yang menempati rumah itu sekarang.

Luvina langsung membuka pintu depan dan meninggalkan Nizar di halaman. Laki-laki dengan jaket berbahan parasut itu tengah berdiri memandang empat pohon mangga dengan jenis berbeda yang mengelilingi rumah Luvina. Ia sudah tidak sabar ingin memanjat pohon yang sedang berbuah lebat itu.

Luvina melangkah ke dapur. Ia sudah bisa pastikan jika Bu Lastri—ibunya--tengah berada di ruangan paling belakang dari rumah ini. Jam delapan pagi biasanya sang ibu tengah memproduksi rempeyek untuk dijual.

"Assalammualaikum, Bu." Luvina menyapa perempuan paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu. Ia lalu meraih tangan Bu Lastri dan mengecupnya dengan takzim. "Ibu sehat, 'kan?"

Bu Lastri mengangguk dengan senyuman manis terlukis di wajahnya. "Sama Nizar?"

"Iya, Bu."

Luvina kemudian mengikuti Bu Lastri yang berjalan menuju teras dengan sebuah nampan berisi satu teko teh panas dan pisang goreng. Luvina sudah hapal dengan kebiasaan Bu Lastri setiap Nizar mengantarnya pulang. Ibunya itu selalu bergegas menyuguhkan minuman dan camilan segera setelah mereka sampai di rumah. Laki-laki itu seolah menjelma sebagai putra tunggal ibunya karena anak kandungnya semua perempuan.

"Dari rumah, Fan?" tanya Luvina begitu sampai di teras. Sudah ada Fanisa bersama Biruni. Bayi itu sedang berada dalam pangkuan Nizar.

Fanisa manggut-manggut. Ia sedang melirik pisang goreng yang ada di sampingnya. Namun, saat hendak mencomot camilan bercita rasa manis itu, ibunya memukul punggungnya cukup keras. "Aduh! Kenapa, sih, Bu?"

"Punyamu di dalam. Itu buat Nizar. Kasihan habis nyetir lama," jelas Bu Lastri seraya masuk ke rumah.

Fanisa dan Luvina saling berpandangan. Mereka pun serempak berucap, "Maklum anak lanang datang."

Nizar tertawa jumawa. "Nggak usah cemburu kalian."

Fanisa dan Luvina dengan kompak mencebik ke arah Nizar.

"Mas, nanti ikut aja ke nikahan," ajak Fanisa.

"Mana mau dia ke nikahan. Lagi patah hati, gagal nikah," ejek Luvina seraya bermain ci-lik-ba dengan Biruni.

Nizar menatap Luvina dengan kesal. Mereka pun membicarakan gagalnya lamaran Nizar ke Tiara. Penyebab Tiara tidak bisa dihubungi tak lain karena perempuan itu tengah dijodohkan dengan calon pilihan orang tuanya. Panaik yang ditawarkan Nizar kalah telak dari laki-laki yang kini sudah sah menjadi suami mantan pacaranya itu.

"Sok gaya, sih. Pakai macarin anak Bugis tanpa modal panaik." Luvina masih bersemangat mengejek Nizar. "Udah putus nyambung bolak-balik masih nggak kapok juga."

Nizar memasang wajah sedih. Ia sebenarnya tidak terlalu patah hati. Dirinya juga mikir-mikir jika lamarannya diterima. Hubungannya dengan Tiara kurang berjalan baik karena terpisah jarak. Nizar hanya tidak tega menolak permintaan Tiara yang ingin kembali padanya.

"Kayak di Jawa nggak ada cewek aja, Mas," celetuk Fanisa santai.

"Bukan gitu, Fan. Mumpung ada cewek yang mau sama aku. Soalnya udah malas gabung di komunitasnya mbakmu," ucap Nizar enteng.

Kening Luvina mendadak berkerut. Ia tidak paham tentang ucapan Nizar. Dirinya sedang tidak bergabung dalam komunitas mana pun. Memikirkan tugas di laboratorium dan juga penelitian Ganesa saja sudah membuat waktunya tersita.

BERBURU SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang