Dua Bulan Lagi

157 39 1
                                    


Luvina memijit kening setelah membaca pesan yang seketika membuat pikirannya menjadi kalut kembali. Ia mengira bahwa ibunya tidak akan melanjutkan rencana setelah penolakan yang diberikannya. Namun, ternyata masih berlanjut. Hati Luvina menjadi tidak tenang.

Kenapa masih berlanjut, Fan?

[Entahlah, Mbak
Ibu udah mau ke pasar
Kayaknya mau masak besar buat nyambut mereka]

Ekor mata Ganesa memperhatikan kegelisahan bawahannya itu. Ia memilih bersikap tidak peduli meskipun ingin tahu. Dirinya tidak ingin terlihat mencampuri permasalahan rekan kerjanya lebih jauh.

"Pak, saya izin pulang." Luvina harus segera menelepon ibunya. Ia tidak mungkin berbincang tentang masalah genting ini di rumah Ganesa.
Ganesa terkesiap. Ia tidak menduga Luvina akan pulang secepat itu dari rumahnya. Dirinya penasaran dengan alasan Luvina tergesa ingin kembali ke indekos. Namun, harga dirinya terlampau tinggi untuk sekadar bertanya tentang hal tersebut. "Oke, saya ganti pakaian dulu."

Kening Luvina berkerut. "Mau ngapain, Pak?"

"Anatar anda pulang." Ganesa bangkit dari posisinya. Namun, mendadak kepalanya berdenyut. Tubuhnya hampir saja limbung.

Luvina bergegas mendekat ke arah Ganesa. Ia memegang punggung dan lengan atasannya itu, lalu membantu laki-laki itu untuk bersandar di sofa. "Bapak istirahat aja."

"Maaf, Bu." Ganesa menjadi tidak enak hati karena sudah merepotkan Luvina.

Luvina menganggukkan kepala. Ia pun juga mengucap maaf karena tidak bisa menemani. Kepanikan sudah menguasai otaknya. Luvina bersegera pulang menuju indekosnya menggunakan ojek online.

Sepanjang perjalanan, Luvina mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk disampaikan ke ibunya. Bu Lastri memang tidak otoriter. Namun, jika keadaan mendesak, sang ibu akan sama keras dengan dirinya dalam mempertahankan pendapat.

Tidak berselang lama, motor yang ditumpanginya berhenti sesuai petunjuk peta yang ada di aplikasi berwarna hijau tersebut. Luvina menyerahkan helm dan mengucap terima kasih kepada bapak ojek. Saat akan melangkah menuju gerbang indekos, matanya menangkap motor dengan plat P yang sangat dikenalnya. Luvina melihat ke dalam teras. Tidak ada Nizar di sana. Ia pun menuju satu tempat yang bisa ia pastikan bahwa laki-laki itu sedang singgah di ruangan itu.

Luvina melangkahkan kaki menuju pos satpam yang berada di gerbang perumahan sebelah indekosnya. Benar saja, Nizar tengah berbincang akrab dengan seorang laki-laki yang mengenakan seragam berwarna putih dan navy. Luvina melipat kedua tangannya di depan dada seraya menyandarkan punggung di daun pintu. Ia tersenyum melihat sang sahabat yang memunggunginya, begitu menggebu membahas pertandingan bola tadi malam.

"Eh, Mbak Luvina udah datang," sapa Pak Satpam ramah.

Nizar menoleh ke belakang. Senyuman terlukis di wajah laki-laki bertubuh tinggi itu. "Ada kegiatan di kampus?"

"Enggak ada. Ayo ke kos."

Nizar pun berpamitan pada Pak Satpam yang sudah menjadi teman berbincang membahas pertandingan bola. Ia memang tidak memberitahu Luvina jika akan ke indekos. Sudah biasa baginya muncul tanpa mengabari sahabatnya itu. Sekalipun Luvina tidak ada di indekos, bukan menjadi masalah bagi pegawai negeri sipil tersebut. Ia bisa mampir ke pos satpam seperti yang dilakukannya saat ini. Bahkan, Nizar pun pernah tengah malam datang ke pos satpam hanya untuk nonton bareng.

"Kenapa wajahmu murung gitu? Ada masalah sama kerjaan? Kamu dimarahi Pak Ganesa lagi? Ck, kapan sih tobatnya dosen itu?" Nizar mulai ngomel-ngomel.

Luvina duduk di kursi teras tanpa menggubris pertanyaan Nizar yang beruntun itu. "Aku nggak tau harus bilang apa ke Ibu."

Jawaban Luvina membuat raut muka Nizar berubah. Ia salah menerka. Ternyata masih ada masalah dengan rencana perjodohan. Pantas saja wajah Luvina masam.

"Ada apa lagi? Bukannya sudah kamu putuskan untuk tidak setuju dengan perjodohan itu?" tanya Nizar seraya duduk di sebelah Luvina.

Luvina mengangguk lemah. Ia lalu menceritakan tentang pesan Fanisa. Saat ini, dirinya sedang bingung mengatur kalimat untuk disampaikan pada ibunya.

"Ya udah, telepon sekarang. Jangan terpancing emosi." Nizar berusaha menenangkan Luvina meskipun ia juga penasaran dengan rencana Bu Lastri selanjutnya.

Luvina masih bergeming. Ia khawatir kata-katanya akan melukai hati Bu Lastri. Ia pun mengangkat kedua kaki untuk berpijak di atas kursi. Ia lalu memeluk lutut.

"Apa jalan takdir jodohku kayak gini, ya, Zar? Aku takut menolak, tapi aku juga nggak mau menerima." Luvina mendesah pasrah. Ia menjadi serba salah. Luvina menoleh ke samping, menatap Nizar dengan penuh harap.  "Bagaimana aku tahu dia jodohku atau bukan? Aku bingung harus bersikap, Zar."

Nizar menarik napas panjang. Dahinya berkerut dengan bibir terkatup rapat. Pertanyaan Luvina begitu sulit dijawab. Jodoh, kata yang sangat misterius. Satu kata itu juga menjadi masalahnya. Bahkan, untuk mengetahui bocoran huruf depan pada namanya saja tidak bisa.

"Sekarang, apa yang kamu yakini benar, lakukan. Hatimu pasti lebih paham. Percayai perasaanmu saat pikiran mencoba mengusiknya."

Luvina mengepalkan tangan. Ia sedikit tercerahkan dengan nasihat Nizar. "Aku telepon Ibu dulu. Kamu tetap di sini aja, Zar."

"Siap, Endelia Kemayu Ningsih."

Luvina mulai menghubungi nomor Bu Lastri. Tidak perlu menunggu lama, ibunya langsung mengangkat telepon. Mereka mulai berbincang. Luvina tidak langsung ke inti pembicaraan. Ia masih berbasa-basi.

Nizar yang mendekatkan telinganya ke ponsel Luvina, penasaran dengan obrolan ibu dan anak itu. Ia sampai memiringkan tubuh karena Luvina menjauhkan kepalanya.

Mata Luvina mengarah tajam ke arah Nizar yang terus mendekatkan telinganya. Laki-laki itu akhirnya menyudahi rasa ingin tahunya. Nizar pun menampakkan wajah memelas.

Luvina geli melihat tingkah Nizar. Tangannya mengusap muka yang masih mencoba melucu tersebut.  Ia kembali fokus dengan obrolannya bersama Bu Lastri.

"Ibu nggak mau jadi orang tua yang egois. Tapi, kali ini tolong turuti permintaan ibumu ini. Menikahlah dengan Pak Toni. Dia memang sudah punya cucu, tapi usianya masih 40-an. Masih tua Ibu jauh, Luv."

Luvina menundukkan wajahnya. Ia mengepalkan tangan kiri lalu memukul kepalanya berkali-kali. Permintaan Bu Lastri terlalu konyol untuk diwujudkan.

Nizar tidak berani menyela. Melihat reaksi Luvina, ia ikut khawatir dengan pembahasan di telepon.

"Baik, Bu. Aku akan menikah," ujar Luvina dengan nada bicara yang tegas. Punggungnya tegak, seolah tidak ada keraguan dalam ucapannya.

Nizar mengerjap tidak percaya dengan keputusan Luvina. Laki-laki itu protes lewat gerak bibir tanpa menimbulkan suara. Namun, Luvina tidak menghiraukannya. Nizar mengusap dahinya kasar. Ia kecewa dengan jawaban perempuan di sebelahnya itu.

Bu Lastri mengucap rasa syukur berulang kali. Perempuan paruh baya itu seakan mendapat energi baru dengan keputusan Luvina.

"Tapi, aku akan menikah dengan seseorang yang menjadi pilhan hatiku. Ibu tidak perlu repot mencarikan jodoh. Aku yang akan mencarinya."

"Kapan, Luv?" Desahan kecewa terdengar dari seberang telepon.

"Segera."

Helaan napas lega kembali terdengar dari suara Bu Lastri. Perempuan yang sudah menjanda itu juga tidak tega menjodohkan putrinya dengan laki-laki berumur yang bahkan sudah punya cucu tersebut. Ia sekarang bisa tenang memberi jawaban pada teman suaminya.

"Terima kasih banyak, anakku. Ibu tunggu kabar baik selanjutnya, ya, Luvi." Nada bicara Bu Lastri mulai terdengar parau. Ia sungguh lega sekarang. Putri sulungnya sudah memiliki niat untuk menikah.

"Iya, Bu. Dua bulan lagi." Luvina menghela napas panjang. Ia berharap tidak ada yang salah dengan ucapan tiba-tiba ini. "Aku akan menikah. Ibu bisa pegang janji putrimu ini."

Bersambung

BERBURU SUAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang